Fenomena inilah yang kini menjelma menjadi badai greenflation dunia. Menurut Fatih Birol, kepala Badan Energi Internasional, “Kenaikan harga material renewable energy mencapai 50% dalam setahun terakhir. Jika tak ditangani, harga energi bersih bisa melampaui fosil dalam waktu dekat” (Birol, 2023).
Greenflation ternyata telah menjadi bentuk energy insecurity bagi negara miskin dan berkembang karena menghambat transisi dan akses energi bersih mereka dalam jangka panjang. Ini tentu saja sangat merugikan dan tidak adil. Oleh karena itu, penanganan global yang kolaboratif antar-negara sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini
Indonesia
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah negara ini juga terancam greenflation? Beberapa pakar meyakini bahwa Indonesia sangat rentan terhadap greenflation atau gelombang kenaikan harga energi hijau ini.
Beberapa faktor penyebabnya adalah ketergantungan terhadap produk impor yang masih besar, rendahnya kemampuan daya beli dan produksi dalam negeri, dependensi energi fosil, defisit infrastruktur energi terbarukan hingga gap energi global masih jadi kendala.
Menurut seorang pengamat geopolitik dari Green Policy Institution, Atarah Lister “Negara seperti Indonesia harus segera membangun kemandirian industri renewable energy-nya sendiri sebelum terlambat. Jika tidak, Indonesia bakal jadi korban mahalnya harga energi bersih dan terjebak fosil untuk selamanya” (Lister, 2023).
Greenflation memang berpotensi menciptakan ketidakamanan energi. Dalam konteks itu, kesiapan Indonesia perlu diwujudkan ke dalam kebijakan dan program kegiatan riil di lapangan.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus segera menyiapkan langkah-langkah strategis agar Indonesia survive dari badai greenflation. Pada saat yang sama, Indonesia juga tetap menjaga kapasitas kompetitifnya dalam memacu transisi energi nasional.
Memang ada pandangan bahwa potensi ancaman greenflation akan dialami Indonesia dalam jangka panjang. Salah satu faktornya adalah bauran energi terbaŕukan Indonesia baru mencapai 13%.
Sementara itu, Perancis ---yang dipakai Gibran sebagai contoh--- sudah mencapai hampir 80% bauran energi terbarukan. Dalam kondisi itu, ancaman greenflation memang lebih dekat ke Perancis ketimbang Indonesia.
Beberapa opsi kebijakan dapat dilakukan Indonesia, misalnya mempercepat proyek pembangkit listrik energi terbarukan dalam negeri, mengedepankan teknologi modular dan terdesentralisasi untuk menekan biaya, hingga memberikan insentif untuk pengembangan rantai pasok komponen hijau lokal.