Studi Kasus Indonesia
Bagi Indonesia, buku Bartels ini menjadi kontekstual. Kemunculan Jokowi pada 2014 dipandang sebagai awal mula kepemimpinan populisme di Indinesia. Pada 2014, dengan latar belakang sebagai sosok di luar elite Jakarta, Jokowi sukses menggunakan image dan janji-janji populis.Â
Upaya mengatasi kemiskinan dan memperbaiki pelayanan publik untuk meraih dukungan mayoritas pemilih Indonesia. Mereka kecewa dengan elite politik konvensional yang menjadi target utama serangan dari pemimpin populis.
Ini sejalan dengan Bartels, di mana kegagalan pemimpin mainstream dalam membuat kebijakan inklusif akan menciptakan celah politik yang dimanfaatkan munculnya populisme. Meski harus berkoalisi dengan elite lama, Jokowi tetap dianggap mewakili harapan baru mengatasi problem nyata rakyat.
Namun menjelang 2024, ambisi Jokowi memanfaatkan popularitasnya justru menimbulkan manuver-manuver elitis yang kontraproduktif. Menurut Bartels, populisme model begini berisiko merongrong nilai-nilai dan institusi demokrasi.
Meski sukses secara elektoral hingga akhir pemerintahannya, populisme Jokowi dan pendukungnya menyimpan benih-benih yang mengancam demokrasi Indonesia. Mengikuti alur pikir Bartels, Indonesia membutuhkan kepemimpinan moderat arus utama untuk menjaga haluan demokrasi ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H