Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Review Buku #1: Ancaman Demokrasi Dari Atas

14 Januari 2024   16:14 Diperbarui: 14 Januari 2024   16:15 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://morningstaronline.co.uk/

Democracy Erodes From the Top: Leaders, Citizens, and the Challenge of Populism in Europe merupakan judul buku teranyar karya Larry M. Bartels, pakar politik Amerika dari Universitas Vanderbilt. Buku ini diterbitkan oleh Princeton University Press pada 2023. Melalui 280 halaman buku ini, Bartels melakukan kajian mendalam terhadap fenomena populisme politik di Eropa yang tengah mengancam demokrasi liberal.

Buku ini sangat relevan dengan situasi politik domestik Indonesia pada akhir-akhir ini. Menjelang 2024, kekecewaan elit terhadap perilaku politik Presiden Jokowi dalam pencalonan putranya menjadi cawapres dianggap telah menggerus demokratisasi di Indonesia sejak 1998.

Dalam 10 bab itu, Bartels berupaya melacak asal-muasal kebangkitan fenomena populisme di sejumlah negara Eropa beberapa dekade terakhir. Pakar politik AS ini menemukan bahwa sesungguhnya akar penyebabnya adalah berasal dari elite-elite politik arus utama (mainstream) Eropa sendiri.

Kebijakan mereka yang melulu mengejar efisiensi ekonomi dan administratif ternyata mengabaikan nasib warga negara kelas bawah. Isu ini kemudian dimanfaatkan propaganda populis sayap kanan untuk menjanjikan akan memperjuangkan rakyat terpinggirkan demi meraih dukungan politik.

Ada beberapa faktor kunci yang membuat populisme mendapatkan dukungan cukup luas dari masyarakat di Eropa dan Amerika, sehingga melahirkan para pemimpin populis kontemporer. Faktor-faktor itu, meliputi:

1. Kekecewaan publik terhadap elite politik mainstream akibat kebijakan yang dianggap merugikan atau tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat.

2. Sentimen anti-imigran atau rasisme yang tumbuh di tengah krisis ekonomi dan perubahan komposisi penduduk karena urbanisasi.

3. Janji-janji kaum populis yang dianggap mewakili suara rakyat jelata, dengan retorika provokatif "melawan establishment".

4. Persepsi bahwa demokrasi liberal gagal menyejahterakan ekonomi rakyat biasa, sementara Cina dan negara otoriter lain dianggap lebih sukses.

5. Penyebaran hoaks dan propaganda anti-establishment melalui media sosial yang memperkuat sentimen publik terhadap populisme.

Gabungan faktor ekonomi, politik dan teknologi ini diyakini telah dimanfaatkan para populis untuk merangkul dukungan massa dan mendulang suara dalam pemilu.

Lewat buku ini, Bartels mengingatkan kita semua untuk tidak meremehkan ancaman populisme. Selain propaganda rasis dan eksklusif, populisme menggerogoti toleransi sosial dan berpotensi merongrong demokrasi itu sendiri. Namun upaya menanganinya mesti dimulai dengan introspeksi kelompok mainstream perihal kebijakan mereka yang turut menyuburkan populisme.

Argumen utama Bartels adalah bahwa akar penyebab kebangkitan populisme sesungguhnya berasal dari elite dan pemimpin politik arus utama di Eropa sendiri. Kebijakan efisiensi ekonomi cenderung melupakan nasib kelompok rentan itulah yang kemudian dimanfaatkan propaganda populis untuk meraih dukungan publik yang marah dengan janji-janji provokatif dan kritik tajam terhadap kelompok mapan dan pemerintah berkuasa.

Buku Bartels sangat menarik karena memberikan analisis ringkas namun tajam tentang asal-muasal populisme, bagaimana sistem demokrasi liberal bisa terkikis perlahan jika fenomena ini tak ditangani secara arif. Yang juga menarik, Bartels mengingatkan kaum liberal dan moderat untuk tidak gegabah dalam pemberantasan populisme. 

Sebaliknya, Bartels menyarankan agar kelompok liberal melakukan introspeksi dan koreksi terhadap kebijakan sendiri yang turut berkontribusi menyulut gelombang populisme.

Adapun kelemahan dari buku ini mungkin terletak pada minimnya contoh kasus negara yang diangkat. Sebagian besar pembahasan Bartels mengambil pengalaman 2-3 negara di Eropa Barat seperti Prancis, Belgia dan Belanda. 

Padahal, fenomena kebangkitan populisme kanan juga terjadi di Eropa Timur dan Selatan. Mungkin aspek perbandingan antarnegara ini bisa lebih dieksplorasi.

Populisme, dengan propaganda anti-imigran, rasis dan eksklusifnya, jelas mengancam nilai-nilai toleransi, keberagaman dan inklusivitas sosial yang selama ini dibangun negara demokrasi liberal. Apalagi, retorika melawan institusi mapan ini berpotensi merongrong demokrasi itu sendiri bila kaum populis berhasil menguasai lembaga-lembaga negara.

Namun, Bartels juga mengingatkan, upaya menghentikan gelombang populisme ini tak bisa dilakukan dengan pendekatan sederhana atau justru kontraproduktif. Sebelum menyalahkan para politisi dan pemimpin populis atas propaganda mereka, sudah selayaknya kelompok politik arus utama dan pendukung nilai liberal di Eropa dan Amerika melakukan introspeksi secara serius.

Karena sesungguhnya, kebijakan kelompok elit politik mainstreamlah yang kerap gagal atau justru kontraproduktif, sehingga membuat sebagian publik kecewa dan berpaling ke yang populis. Tanpa koreksi fundamental atas kesalahan ini, sulit mengharapkan restorasi stabilitas demokrasi di Barat.

Selain itu, rekomendasi kebijakan Bartels untuk menangkal populisme terkesan umum, meski memang buku ini lebih berfokus pada aspek "diagnosis" akar permasalahan. Tentu para pembaca mengharapkan resep solutif lebih operasional dari seorang ilmuwan politik sekaliber Bartels ini.

Studi Kasus Indonesia

Bagi Indonesia, buku Bartels ini menjadi kontekstual. Kemunculan Jokowi pada 2014 dipandang sebagai awal mula kepemimpinan populisme di Indinesia. Pada 2014, dengan latar belakang sebagai sosok di luar elite Jakarta, Jokowi sukses menggunakan image dan janji-janji populis. 

Upaya mengatasi kemiskinan dan memperbaiki pelayanan publik untuk meraih dukungan mayoritas pemilih Indonesia. Mereka kecewa dengan elite politik konvensional yang menjadi target utama serangan dari pemimpin populis.

Ini sejalan dengan Bartels, di mana kegagalan pemimpin mainstream dalam membuat kebijakan inklusif akan menciptakan celah politik yang dimanfaatkan munculnya populisme. Meski harus berkoalisi dengan elite lama, Jokowi tetap dianggap mewakili harapan baru mengatasi problem nyata rakyat.

Namun menjelang 2024, ambisi Jokowi memanfaatkan popularitasnya justru menimbulkan manuver-manuver elitis yang kontraproduktif. Menurut Bartels, populisme model begini berisiko merongrong nilai-nilai dan institusi demokrasi.

Meski sukses secara elektoral hingga akhir pemerintahannya, populisme Jokowi dan pendukungnya menyimpan benih-benih yang mengancam demokrasi Indonesia. Mengikuti alur pikir Bartels, Indonesia membutuhkan kepemimpinan moderat arus utama untuk menjaga haluan demokrasi ke depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun