KSS terus berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Volume perdagangan KSS meningkat, termasuk aliran investasi dan bantuan pembangunan antar negara berkembang. Forum dan lembaga KSS, antara lain BRICS, IBSA, dan NAM juga semakin solid.
Dibandungkan model-model kerjasama lainnya, kelebihan KSS adalah dianggap lebih setara, saling menguntungkan, tanpa kompromi kedaulatan, seperti kerjasama Utara-Selatan. Selain itu, KSS juga menggunakan prinsip solidaritas, gotong royong dan kepentingan bersama negara dunia ketiga.
Meski demikian, KSS juga memiliki kelemahan dalam koordinasi antar-negara. Akibatnya, KSS cenderung kurang optimal dalam mengatasi development problems bersama.
Kelemahan lainnya adalah sumber pembiayaan KSS juga terbatas. KSS sangat tergantung pada pendanaan dari negara yang lebih tinggi secara ekonomi.
Selama ini, peran Indonesia Indonesia aktif dalam KSS baik di tingkat bilateral, regional via ASEAN maupun global lewat G77 dan D-8. Indonesia menginisiasi program kerjasama teknik, pendidikan, dan bantuan lapangan bagi sesama negara Selatan.
Melalui peran-peran itu, Indonesia dianggap lebih tepat menempatkan diri sebagai middle power dalam diplomasi global. Peran, posisi, dan pengaruh Indonesia itu secara langsung menyanggah kritik dari salah satu capres bahwa Indonesia adalah penonton di panggung global.
Ketiga capres harus memahami peran Indonesia sebagai middle power. Negara middle power dicirikan dengan kemampuannya untuk menjadi mediator dan juru runding dalam konflik internasional, membangun koalisi dengan negara sekutu yang sehaluan, serta mengambil prakarsa dalam mengatasi masalah-masalah global.
Konsep middle power diplomacy sangat relevan untuk menganalisis dan sekaligus mendorong peran Indonesia sebagai kekuatan menengah yang progresif dan berpengaruh dalam berbagai kerjasama internasional, khususnya KSS.
Peran ini juga jauh dari tuduhan salah satu capres bahwa kebijakan luar negeri Indonesia bersifat transaksional. Melalui KSS, Indonesia menjalankan peran, posisi, dan pengaruhnya sebagai middle power. Prinsip solidaritas, kesetaraan, dan kemandirian menjadi nilai-nilai utama bagi KSS.
Aktivisme diplomasi middle power Indonesia bahkan bisa dirunut hingga masa pemerintahan Presiden Sukarno. Sejak Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Presiden Soekarno menggelar Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, Indonesia telah menjadi pelopor GNB dan solidaritas negara-negara dunia ketiga.
Melalui berbagai forum dan institusi seperti Gerakan Non-Blok, D-8, IBSA, WTO, dan NAM, Indonesia secara konsisten memainkan peran kepemimpinannya sebagai juru bicara Global South.