Banyak pihak, di tingkat regional maupun internasional, sepakat bahwa kepemimpinan Indonesia akan menjadi kunci sukses bagi ASEAN pada 2023. Dengan kepemimpinan itu, Indonesia diharapkan dapat menyelesaikan berbagai masalah kompleks yang dihadapi ASEAN saat ini.
Salah satu masalah itu adalah krisis Myanmar yang paling mendapat perhatian. Sejak kudeta militer yang dilakukan Jenderal Minh Aung Hlaing pada 1 Februari 2021, Myanmar mengalami krisis politik berkepanjangan hingga lebih dari dua tahun ini. Akibatnya, Myanmar kembali tenggelam dalam konflik yang berlarut-larut dan instabilitas politik.
Jumlah korban kekerasan, termasuk orang yang dibunuh oleh militer dan yang ditangkap, semakin bertambah. Junta militer Myanmar telah melakukan serangan kekerasan terhadap rakyat Myanmar yang berjuang untuk demokrasi.
Pada bulan Maret 2021, junta militer mulai menembaki dan melakukan penangkapan terhadap sejumlah besar aktivis, serta menjalankan kekerasan yang tidak perlu dan bentuk-bentuk lain dari represi. Junta militer juga menutup akses internet dan menutup media sosial dan menekan para wartawan, bahkan menahan wartawan asing.
Berbagai kekerasan ini telah menyebabkan banyak korban jiwa, termasuk tewasnya sejumlah besar warga sipil. Meskipun beberapa penentangan masyarakat terjadi, junta militer terus menjalankan kebijakan represif, mengancam kemerdekaan dan keamanan rakyat Myanmar.
Penentangan Myanmar
Perkembangan domestik di Myanmar menimbulkan konsekuensi serius bagi stabilitas kawasan di Asia Tenggara. Kedekatan Myanmar dengan China semakin mempersulit inisiatif ASEAN untuk menyelesaikan krisis Myanmar.
Pemerintah China sebenarnya telah beberapa kali berjanji membantu mendorong perdamaian di Myanmar. Namun kenyataannya, krisis Myanmar masih jauh dari jalan perdamaian. Bahkan Myanmar memakai kedekatannya dengan China untuk bersikukuh menolak Konsensus Lima Poin (Five Points Consensus/5PC) ASEAN.
ASEAN telah berupaya untuk menemukan solusi bagi konflik di Myanmar melalui 5PC yang disepakati sebagai hasil dari pertemuan para pemimpin ASEAN pada bulan April 2021 di Jakarta. Namun, junta militer Myanmar menolak untuk mengikuti konsensus ini dan malah mengeluarkan peta jalan perdamaian miliknya sendiri. Jalan damai versi junta militer itu termasuk rencana pemilu pada bulan Agustus mendatang.
Akibatnya, prospek penyelesaian masalah ini masih tetap belum jelas. Oleh karena itu, berbagai pihak, baik di dalam maupun luar ASEAN, berharap Indonesia dapat memberikan inisiatif terobosan untuk memecahkan masalah ini.
Upaya Indonesia
Indonesia tetap merujuk pada, 5PC yang merupakan ”mandat” dari para pemimpin ASEAN dalam penyelesaian krisis Myanmar. Walau dianggap memiliki kelemahan, 5PC merupakan satu-satunya "kerangka penyelesaian" yang tersedia hingga saat ini.
Yang paling penting adalah faktor bahwa Jenderal Hlaing sendiri hadir pada saat 5PC disepakati di Jakarta pada awal 2021. Kenyataan bahwa junta militer mengingkari kesepakatan regional itu tentu saja menjadi faktor menarik dalam pembuatan kebijakan di ASEAN.
Namun demikian, Indonesia tampaknya perlu mengambil sikap realistis dan pragmatis. Sikap itu perlu diambil berdasarkan kenyataan mengenai krisis yang berkepanjangan hingga pada saat ini.
Pertama adalah kenyataan bahwa konflik Myanmar sangat kompleks dan melibatkan banyak aktor. Akibatnya, upaya-upaya perdamaian selalu berujung di jalan buntu hingga lebih dari dua tahun sejaknkudeta pada 1 Februari 2021.
Berdasarkan kenyataan itu, negara-negara anggota ASEAN perlu menempatkan implementasi 5PC dalam kerangka bina damai secara komprehensif, koheren, dan jangka panjang.
Kenyataan lain yang perlu mendapat perhatian dari krisis ini adalah sifat krisis Myanmar yang berdimensi strategis-geopolitik. Akibatnya, ASEAN tidak mungkin menangani persoalan ini tanpa bekerja sama dan melibatkan mitra-mitra dialog, seperti Amerika Serikat (AS) China, India, dan, mungkin, Rusia.
Oleh karena itu, Indonesia perlu bersikap realistis bahwa keketuaan Indonesia di ASEAN 2023 mungkin tidak akan dapat menyelesaikan masalah ini dalam waktu satu tahun ini. Sikap tersebut perlu diambil mengingat ASEAN pada 2023 memiliki agenda-agenda penting lain yang tidak kalah kompleks dibanding masalah Myanmar.
Indonesia dapat belajar dari pengalaman keketuaan Brunei (2021) dan Kamboja (2022), yaitu mencoba untuk membangun fondasi yang dapat membuka jalan ke arah perdamaian.
Indonesia memulai memfasilitasi pelaksanaan kedua dari lima "mandat" yang diberikan oleh 5PC, yaitu fasilitasi dialog yang melibatkan semua pihak di Myanmar. Dengan dukungan anggota-anggota lain di ASEAN, Indonesia dapat beruntung dengan junta militer Myanmar mengenai kelompok-kelompok masyarakat di Myanmar.
Dalam rangka itu, Indonesia dapat menggunakan sumber daya di KBRI Myanmar untuk memetakan kelompok-kelompok masyarakat itu, seperti United National Government (UNG) atau yang lain, yang dapat berkontribusi menciptakan perdamaian.
Potensi inisiatif lain dari Indonesia dapat muncul dari ketentuan di 5PC mengenai mengenai tugas dan kewenangan Utusan Khusus. Dalam konteks membangun komitmen jangka panjang, misaknyq, Indonesia bisa mengusulkan utusan khusus yang bersifat tetap untuk membangun perdamaian di Myanmar.
Utusan khusus yang tetap ini tidak perlu berganti orang, sebagaimana selama dua tahun terakhir berganti setiap tahun. Selain itu, anggota-anggota ASEAN juga bisa menetapkan berapa tahun jabatan utusan khusus yang tetap itu. Misalnya selama dua tahun mendatang atau hingga perdamaian terwujud.
Selanjutnya, jumlah utusan itu bisa lebih dari satu orang agar bisa lebih efektif berkoordinasi dengan berbagai pihak. Walaupun penyelesaian internal ASEAN menjadi prioritas, namun kenyataan memperlihatkan masalah Myanmar memiliki dimensi strategis dan geopolitik.
Dengan jumlah utusan lebih dari satu orang, maka diplomasi ASEAN dapat mencari peluang perdamaian di Myanmar, baik dari dalam maupun melibatkan negara-negara mitra, seperti China.
Dengan cara berpikir ini, Indonesia tidak perlu merasa dipaksa menyelesaikan masalah Myanmar di masa keketuaannya. Namun, ada kesadaran mengenai komitmen jangka panjang itu sangat penting agar energi Indonesia dalam memimpin ASEAN tidak mengabaikan urgensi agenda-agenda lain selama kepemimpinannya di 2023.
Namun, pada saat yang sama, komitmen jangka panjang terhadap pencarian penyelesaian masalah Myanmar ini bukan berarti ASEAN hanya memusatkan perhatiannya pada isu ini. Bukan juga berarti bahwa isu Myanmar ini akan dibiarkan menjadi faktor yang mengalihkan perhatian ASEAN dari berbagai agenda dan isu lainnya.
Selain masalah Myanmar, Keketuaan Indonesia juga dihadapkan pada beberapa isu strategis, seperti pemulihan ekonomi regional pasca-Covid-19 yang semakin sulit karena perang Rusia-Ukraina, penguatan kelembagaan ASEAN, konflik klaim Laut China Selatan, dan tata kelola Indo-Pasifik agar sesuai dengan ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP).
Dari keempat isu strategis itu, prinsip mendasar yang selalu diusung Indonesia dalam diplomasinya di ASEAN adalah menguatkan keutuhan ASEAN, tanpa terjebak ke dalam persaingan kepentingan AS dan China. Tugas itu memang tidak mudah, sehingga Indonesia harus menyadari posisinya sebagai ketua dan, sekaligus, pemimpin ASEAN di 2023 ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H