Selanjutnya, jumlah utusan itu bisa lebih dari satu orang agar bisa lebih efektif berkoordinasi dengan berbagai pihak. Walaupun penyelesaian internal ASEAN menjadi prioritas, namun kenyataan memperlihatkan masalah Myanmar memiliki dimensi strategis dan geopolitik.
Dengan jumlah utusan lebih dari satu orang, maka diplomasi ASEAN dapat mencari peluang perdamaian di Myanmar, baik dari dalam maupun melibatkan negara-negara mitra, seperti China.
Dengan cara berpikir ini, Indonesia tidak perlu merasa dipaksa menyelesaikan masalah Myanmar di masa keketuaannya. Namun, ada kesadaran mengenai komitmen jangka panjang itu sangat penting agar energi Indonesia dalam memimpin ASEAN tidak mengabaikan urgensi agenda-agenda lain selama kepemimpinannya di 2023.
Namun, pada saat yang sama, komitmen jangka panjang terhadap pencarian penyelesaian masalah Myanmar ini bukan berarti ASEAN hanya memusatkan perhatiannya pada isu ini. Bukan juga berarti bahwa isu Myanmar ini akan dibiarkan menjadi faktor yang mengalihkan perhatian ASEAN dari berbagai agenda dan isu lainnya.
Selain masalah Myanmar, Keketuaan Indonesia juga dihadapkan pada beberapa isu strategis, seperti pemulihan ekonomi regional pasca-Covid-19 yang semakin sulit karena perang Rusia-Ukraina, penguatan kelembagaan ASEAN, konflik klaim Laut China Selatan, dan tata kelola Indo-Pasifik agar sesuai dengan ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP).
Dari keempat isu strategis itu, prinsip mendasar yang selalu diusung Indonesia dalam diplomasinya di ASEAN adalah menguatkan keutuhan ASEAN, tanpa terjebak ke dalam persaingan kepentingan AS dan China. Tugas itu memang tidak mudah, sehingga Indonesia harus menyadari posisinya sebagai ketua dan, sekaligus, pemimpin ASEAN di 2023 ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H