Tahun baru biasanya menjadi titik awal dari sebuah kebijakan yang hendak dijalankan hingga akhir tahun. Begitu pula dengan kebijakan luar negeri Indonesia.
Di setiap awal tahun, pemerintahan Joko 'Jokowi' Widodo melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) menyampaikan pidato awal tahun tentang prioritas kebijakan luar negeri Indonesia.Â
Pada 2023 ini, pernyataan pers tahunan Menteri Luar Negeri akan disampakian pada tanggal 11 Januari dengan judul "Leadership in A Challenging World."
Dalam kebijakan luar negeri-nya, Indonesia di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat dikatakan lebih memilih bebas aktif. Kecenderungan itu dapat kita perhatikan pada berbagai pendirian atau posisi Indonesia pada berbagai isu internasional.
Yang menarik adalah bahwa berbagai isu internasional itu berujung pada persaingan global di antara negara-negara besar, yaitu AS-Rusia, AS-China, atau AS melawan koalisi Rusia dan China.Dalam konteks persaingan itu, mengetahui posisi Indonesia menjadi sangat penting.Â
Pengertian bebas dan aktif dapat mengambil dari sumber aslinya, yaitu pernyataan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Dalam pidatonya berjudul "Mendayung di antara Dua Karang", Hatta menawarkan konsep politik luar negeri bebas aktif di Indonesia.Â
Wapres Hatta menyampaikan pidatonya di depan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 2 September 1948 bahwa Indonesia semestinya bisa menentukan sikap sendiri dalam menghadapi konflik politik internasional saat itu.Â
Politik Indonesia bebas aktif artinya Indonesia dapat secara bebas menentukan sikap dan kebijaksanaannya sendiri dalam menghadapi permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri pada kekuatan mana pun.
Menurut Hatta, urgensi mengambil posisi bebas dan aktif itu adalah persaingan global antara AS dan Uni Soviet (US). Persaingan itu menuntut negara-negara mengambil posisi harus mendukung.
Bebas-Aktif, Tetapi Memihak
Walaupun begitu, kenyataan justru menunjukkan kedekatan pemerintahan Sukarno dengan poros Timur, khususnya Uni Soviet. Sementara itu, mulai awal 1960an hingga akhir hayatnya, pemerintahan Sukarno lebih dekat dengan China.
Kedekatan itu memberikan penguatan secara langsung dan tidak langsung pada posisi internasional Indonesia dalam menghadapi kekuatan global AS. Penolakan Sukarno pada bantuan AS dengan 'go to hell with your aid' menjadi konsekuensi logis pemihakan Indonesia pada US.
Contoh lain bisa dilihat pada pembangunan Stadion Sukarno Hatta. Stadion olah raga itu dibuat dengan bantuan US. Pada masa itu, dukungan militer US menyebabkan Indonesia memiliki armada perang laut terkuat di Asia Tenggara. Armada laut itu dipakai untuk membendung kembalinya Belanda dalam perang Trikora.
Penolakan kepada AS dan penentangan Indonesia terhadap neo-kolonialisme Barat bahkan diwujudkan dengan keluarnya Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Masig banyak contoh lain yang pada intinya menunjukkan bahwa pemihakan kepada blok Timur itu mensyaratkan kesetiaan hampir penuh. Hampir tidak mungkin pada masa itu, Indonesia bermain mata dengan AS.
Begitu pula setelah Sukarno dilengserkan dan pemerintahan Suharto berkuasa hingga 1998. Di hampir seluruh jangka waktu itu, Indonesia berbalik mendukung AS dan sekutunya.
Dengan cara itu, pemerintahan Suharto juga mendapatkan dukungan ekonomi dan politik AS dalam menantang posisi global US di Asia Tenggara. Pemihakan keoada salah satu negara besar (AS atau US) dan konsekuensinya juga dilakukan negara-negara lain, termasuk di Asia Tenggara.
Akibat kedekatan RI dengan AS, maka, Suharto meminimalkan hubungan dengan Uni Soviet (yang dilanjutkan Rusia). Kedutaan dan Duta Besar US di Jakarta masih ada, walaupun terjadi pergantian pemerintahan yang didukung AS di Indonesia.
Bahkan, RI membekukan hubungannya dengan China pada 1 Oktober 1967. Pada 1989, pemerintah RI melakukan normalisasi hubungan bilateral dengan RRC.
Bebas-aktif dan tidak memihak
Situasi internasional sudah sangat berbeda pada masa pemerintahan Jokowi berkuasa. Persaingan global, sifat kekuatan AS dan Rusia, kemunculan Cina sebagai kekuatan ekonomi dan militer di kawasan Asia juga sangat berbeda.
Persaingan AS dan Rusia tidak lagi bersifat global, namun hanya terbatas di kawasan Atlantik. Bentuk nyata persaingan itu adalah perang Rusia melawan Ukraina yang dibantu AS dan NATO.
Di Asia, AS lebih memperhatikan kekuatan China. Sedangkan, kekuatan Rusia sudah melemah secara signifikan di Asia. Setelah US Â bangkrut, Rusia tidak terlalu menjadikan Asia sebagai wilayah pengaruhnya, seperti pada masa US.
Organisasi regional ASEAN tidak lain adalah warisan perang dingin antara AS-US, bukan dengan Rusia. Kekuatan global Rusia belum bisa dikatakan menyamai US di kawasan ini, sehingga AS lebih mengawasi kekuatan China.
Situasi global pada saat ini tidak lagi hanya ada dua karang, seperti pada masa Perang Dingin. Menlu pada masa kedua pemerintahan SBY, Â Marty Natalega, menyebut kondisi internasional paska-perang dingin tidak hanya ditentukan dan dipengaruhi oleh dua, tetapi banyak karang.
Alasan itu mungkin menjadi pertimbangan munculnya jargon kebijakan luar negeri di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu 'thousand friends, zero enemy'. Di pemerintahan keduanya, jargon itu berubah menjadi 'million friends, zero enemy.'
Posisi bebas-aktif dan tidak memihak diperkuat pada masa pemerintahan Jokowi. Posisi ini tampak jelas pada beberapa isu internasional baik yang terjadi di Indonesia maupun luar negeri.Â
Keketuaan Indonesia di G20 pada 2022 menjelaskan sikap bebas dan aktif Indonesia terhadap perbedaan kepentingan antara AS dan Rusia.
Pada masa pandemi, Indonesia dianggap lebih dekat dengan China, sebagaimana dukungan investasi negeri itu selama pemerintahan Jokowi. Indonesia juga merawat hubungan bilateral dengan negara-negara selain AS, Rusia, dan China.
Jangan lupa, investor asing terbesar di Indonesia adalah Singapura. Indonesia memberikan konsesi pembangunan kereta cepat Jakarta-Surabaya kepada Jepang. Sedangkan kereta cepat Jakarta-Bandung kepada China.
Namun demikian, Indonesia tetap mempertahankan kedekatan pertahanan-keamanan pada AS dan sekutunya. Indonesia secara mengangetkan bersikap kritis pada pembentukan pakta pertahanan AUKUS, tetapi membeli peralatan militer dari AS dan sekutunya.
Lebih khusus lagi, posisi Indonesia dalam pertarungan kepentingan global antara Amerika Serikat (AS) dengan China dan/atau Rusia.Â
Pada beberapa isu AS berbeda pandangan dengan salah satu negara, misalnya China atau Rusia, namun pada isu lainnya AS menghadapi koalisi China dan Rusia.
Kita tentu tidak lupa dengan sikap berani Jokowi pada masa awal pemerintahannya. Alih-alih meneruskan hubungan baik, pemerintah Indonesia justru memprovokasi negara-negara tetengga.
Melalui kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Menteri Susi Pudjiastuti menggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia. Kebijakan itu dilakukan dengan membom kapal-kapal nelayan asing.
Akibatnya, pemerintah negara-negara Thailand, Filipina, Malaysia, dan Vietnam protes. Indonesia justru menunjukkan sikap tidak senang dengan perilaku negara-negara itu yang melindungi tindakan pencurian warganegaranya di perairan RI.
Masih banyak contoh lain yang pada dasarnya menunjukkan bahwa sikap bebas-aktif dan tidak memihak RI itu lebih didasarkan pada kepentingan nasional.Â
Selama negara-negara lain mendukung kepentingan nasional, maka Indonesia akan menjalin kerjasama saling menguntungkan.
Sikap atau kebijakan itu tidak melulu berdasarkan pada negara mana yang bekerjasama dengan Indonesia. Negara mana pun tanpa pandang bulu akan merasakan sikap tegas Indonesia.
Jepang pernah merasakan sikap Indonesia dengan mengalihkan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung ke China. AS juga harus memberikan kepemilikan saham mayoritas PT. Freeport kepada Indonesia.
Catatan mengenai kebijakan bebas-aktif dan tidak memihak itu bukannya tanpa cela atau, bahkan, menutup peluang interpretasi berbeda. Catatan ini juga tidak menegaskan bahwa pemerintahan satu lebih baik atau yang lainnya kurang baik.Â
Namun demikian, ulasan ini lebih pada upaya membangun pemahaman bahwa setiap kebijakan luar negeri memiliki konsekuensi bagi kepentingan nasional Indonesia.
Kebijakan luar negeri yang memihak atau tidak memihak diambil lebih disebabkan oleh semangat jaman yang memang berbeda di setiap pemerintahan.Â
Setidaknya, catatan ini dapat membantu memahami sikap atau posisi Indonesia dalam menjalankan diplomasi di tahun 2023, termasuk sebagai ketua ASEAN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H