Libur dan macet di kawasan wisata seperti dua muka di satu keping mata uang. Tidak terpisahkan. Sebuah kenyataan yang selalu dicoba ditolak oleh wisatawan. Kemudian, yang menjadi pertanyaan adalah: bagi yang menolak macet di musim libur, apakah anda penganut quality atau quantity tourism?
Secara sederhana, wisata kualitas (quality tourism) adalah perilaku berwisata yang mengutamakan kualitas. Kualitas atau mutu bisa berasal dari keinginan sendiri dari pelancong. Selain itu, kualitas juga bisa berasal dari objek wisata yang mau dikunjungi.
Misalnya, seorang wisatawan ingin merasakan kehidupan di desa ketika berkunjung ke Jokja. Sebagai pemuja quality tourism, maka dia akan mencari penginapan yang jauh dari pusat-pusat keramaian wisata.
Rasa sepi dan sunyi, suasana alamiah sebuah desa yang nyaman dan ramah bagi wisatawan domestik atau asing. Wisatawan pun bisa beraktitas sendiri layaknya penduduk desa. Gambaran film 'Eat, Pray, and Love' di Bali bisa dipakai rujukan untuk wisata kualitas ini.
Penginapan tidak harus berwujud atau bernama hotel sebagai tetirah tinggal sementara. Penginapan dengan halaman sekitar dipenuhi hamparan sawah. Sejauh mata memandang dipenuhi warna hijau atau kuningnya tanaman padi menjadi lokasi wisata yang apik.
Retreat atau menjauh dari hingar bingar kesibukan kantor/kerja dan kota menjadi cocok dengan model wisata ini. Seorang quality tourist tidak dapat disangkal bisa bersifat pemilih. Pilihan atas tema wisata tertentu bisa menentukan daerah wisata mana saja yang perlu dikunjungi.
Kadang kala, wisatawan seperti ini cenderung non-mainstream. Dia tidak harus ke Malioboro untuk merasakan denyut kota budaya Yogyakarta. Mereka tidak perlu menjelajahi satu tempat wisata ke tempat lainnya melalui keramaian dan kemacetan.
Bahkan pada tataran tertentu, kelompok wisatawan ini bisa bersikap eksklusif. Mereka hanya berkunjung ke daerah wisata tertentu yang eksklusif di pulau-pulau tertentu di Indonesia. Jauh dari keramaian atau, bahkan, masyarakat setempat. Jika perlu, satu hotel atau pulau disewa untuk mereka berlibur.
Memang biaya wisata kualitas ini bisa pricey alias lebih dari biaya sekedarnya. Kekhususan pada tujuan berwisata dan objek wisata menjadi ciri khas pelancong macam ini.
Turisme kualitas sangat jelas berbeda dengan turisme kuantitas. Menjadi aneh, jika anda penyuka keramaian, tapi jijik mengalami kemacetan. Wisata kuantitas sewajarnya mendatangi daerah-daerah ramai dan viral secara publik. Kawasan instragamable menjadi sasaran tembak pemeluk quantity tourism ini.
Wisatawan kuantitas seharusnya menikmati kemacetan dan keramaian. Semakin macet dan ramai sebuah daerah wisata itu makin instagramable. Kemacetab itu bisa menjadi cerita bahkan menjadi status (sosial) di media sosialnya.
Bahkan banjir juga bisa menjadi bagian dari quantity tourism. Banjir adalah konsekuensi logis yang harus diterima pelancong ini karena amat bergantung pada infrastruktur pemerintah.
Pada dasarnya, turisme ini berbasis pada massa. Akibatnya, tempat-tempat wisata yang memakai konsep massa ini menjadi aneh jika dalam suasana sepi.Â
Selain macet, liburan kuantitas juga bisa saja tidak mengenal cuaca ekstrim. Prediksi hujan di hampir seluruh wilayah di Indonesia tidak melunakkan hasrat mereka jalan-jalan ke luar rumah.
Kota-kota wisata atau daerah-daerah wisata dipastikan macet lebih. Kemacetan panjang biasanya terjadi di jalan-jalan menuju daerah wisata atau kota atau di lampu-lampu merah (bangjo). Jalan Kaliurang, jalan Parangtritis, jalan Wates, jalan Magelang, jalan Imogiri, daerah Kotagede menjadi kawasan padat merayap di masa liburan.
Kawasan itu memang banyak menawarkan wisata kuantitas. Namun demikian, anda juga bisa menemukan daerah-daerah sepi di dalam kawasan itu. Tidak benar-benar eksklusif, seperti  di pulau tertentu, namun suasana desa Yogyakarta masih bisa dinikmati.
Pemisahan antara turisme kuantitas dan kualitas tentu saja tidak saklek atau kaku. Perbedaan itu juga tidak menafikan kemungkinan campuran di antara keduanya. Anda juga bisa penganut kedua bentuk turisme itu, walau condong ke kuantitas atau sebaliknya.
Dengan dua varian turisme itu dan campurannya diharapkan ada kesadaran. Pelaku wisata, khususnya pelancong, bisa memahami kondisi daerah wisata yang selalu macet di musim liburan, termasuk masa liburan Nataru ini.
Dengan cara itu, wisatawan bisa bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan obyek wisata yang kunjungi. Menjadi responsible tourist atau pelancong yang bertanggung jawab bisa dipakai sebagai tujuan akhir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H