Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

KTT G20 Menjadi Komitmen Multilateral dalam Politik Luar Negeri Indonesia

20 Oktober 2022   02:31 Diperbarui: 20 Oktober 2022   04:05 1505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
G20 adalah sebuah forum kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia(Antara Foto/Pool/Hafidz Mubarak A) 

Hitungan mundur menuju pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group 20 (G20) tinggal kurang satu bulan lagi. KTT pada November 2022 di Bali akan menjadi ajang bersejarah bagi politik luar negeri (PLN) Indonesia, khususnya bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ada setidaknya tiga isu mendasar yang menjadikan KTT G20 sangat berarti bagi PLN Indonesia.

Pertama, KTT G20 ini menjadi tonggak penting orientasi multilateral PLN Indonesia. Orientasi multilateral ini sangat berbeda dengan kecenderungan diplomasi Indonesia yang cenderung berorientasi ke dalam atau domestik.

Multilateralisme Indonesia memang bukan hal baru. Setiap pemerintahan memperlihatkan perilaku multilateralnya dalam menyikapi kondisi eksternal. Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, misalnya, PLN Indonesia menunjukkan komitmen multilateral dalam bentuk KTT Non-Blok. Komitmen itu merupakan respon strategis terhadap kondisi global pada saat itu, yaitu persaingan global antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (US).

Orientasi serupa juga muncul pada masa pemerintahan selanjutnya. Presiden Suharto dikenal sangat mengandalkan ASEAN dalam menjalankan PLN yang bebas dan aktif. Masa pemerintahannya yang panjang menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah berbagai KTT, termasuk Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).

Krisis ekonomi yang berat pada masa Presiden BJ. Habibie, Gus Dur, dan Megawati memang memaksa pemerintah untuk fokus pada perbaikan ekonomi domestik. Akibatnya, ketiga pemerintahan itu tidak terlalu memiliki kesempatan berdiplomasi multilateral melalui KTT. Kalaupun ada, partisipasi pada KTT pada masa krisis ekonomi itu lebih pada upaya mendorong investasi asing datang ke Indonesia.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi momentum pertama bagi Indonesia untuk mengembalikan citra internasionalnya. Presiden SBY sangat memanfaatkan diplomasi untuk menaikkan peran Indonesia dalam percaturan global. Indonesia tidak hanya menjadi tuan rumah berbagai pertemuan internasional, namun juga berpartisipasi aktif dalam diplomasi global.

Isu kedua adalah posisi Indonesia sebagai tuan rumah. Pada pemerintahan Jokowi, komitmen multilateral itu muncul dalam bentuk Keketuaan atau Presidensi Indonesia di KTT G20. 

Sebagai tuan rumah, Indonesia telah mempersiapkan berbagai upaya demi kelancaran penyelenggaraan. Kehadiran seluruh anggota G20 pada berbagai rangkaian pertemuannya diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan konkret untuk kemajuan bersama.

Masalahnya adalah bahwa posisi Indonesia pada saat ini dihadapkan pada situasi global, yaitu ketegangan AS dan Rusia dalam perang di Ukraina. Bukan hal mudah bagi Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan forum kerja sama internasional multilateral di tengah konflik yang terjadi antara Ukraina- Rusia.

Apalagi pada saat yang sama, agenda KTT G20 juga berkaitan dengan pemulihan ekonomi global sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Kedua isu tersebut sangat mempengaruhi strategi Indonesia dalam menyaksikan KTT G20 pada November mendatang.

Berbeda dengan PLN Indonesia selama ini yang cenderung berpihak ke AS, pemerintahan Jokowi cenderung tidak berpihak pada kepentingan salah satu negara. G20 ini dibentuk untuk kepentingan negara-negara di dunia, bukan sekedar untuk kepentingan satu atau dua negara tertentu yang ‘perang dingin’ seperti AS dan Rusia.

Sebagai ketua G20 pada 2022 ini, Indonesia harus membuktikan diri menjadi tuan rumah yang baik. Selain itu, pemerintah berusaha keras memastikan KTT G20 berjalan dengan baik dan sesuai harapan, yaitu kehadiran semua anggota.

Dengan harapan seperti itu, pemerintah Indonesia juga perlu menjalankan strategi komunikasi intensif kepada seluruh anggota G20 yang terlibat dalam konflik agar mereka tetap hadir dalam KTT nanti. Oleh karena itu, Indonesia tidak melakukan pemihakan dalam perang Rusia-Ukraina.

Ketiga adalah isu mengenai arti penting G20. KTT G20 berkaitan erat dengan hubungan negara-negara di dunia yang populasinya mencapai 60 persen. 

KTT menjadi momentum penting bagi negara di dunia untuk mendiskusikan berbagai upaya memperbaiki kualitas hidup bersama secara kolektif ke depan. 

Pembicaraan di KTT G20 juga bertujuan mengurangi dan, bahkan, menghilangkan ketimpangan antara negara Utara dan Selatan, yang dikenal dengan prinsip inklusivitas.

Melalui lebih dari 150 pertemuan di KTT G20, Indonesia mengajak semua anggota untuk duduk bersama demi mewujudkan sinergisitas di antara mereka. Harapan ini tentu saja tidak mudah dijalankan dan dicapai mengingat potensi eksklusif perang Rusia dan Ukraina pada akhir ini.

Di satu sisi, Rusia mengancam penggunaan senjata nuklir dan melanjutkan serangan udara ke berbagai kota di Ukraina. 

Di sisi lain, AS dan NATO meneruskan dukungan suplai persenjataan ke Ukraina. Perkembangan situasi ini sangat dikhawatirkan mempengaruhi penyelenggaraan KTT G20. Walaupun AS dan Rusia berhadapan secara tidak langsung, namun kedua negara menunjukkan sikap permusuhan.

Isu tentang krisis energi dan pangan menjadi dua ujian nyata G20 untuk menunjukkan sinergitas dan inklusivitas mereka di tengah dampak perang Rusia-Ukraina. AS dan negara-negara sekutunya juga masih memperlakukan boikot ekonomi kepada Rusia. Perang dan dampaknya menjadi sangat kontraproduktif bagi semangat mewujudkan pembangunan kerjasama dunia ke depan dalam kerangka KTT G20.

Hingga saat ini, pemerintah Indonesia dipastikan berusaha keras melancarkan diplomasi senyap agar semua anggota G20 dapat menghadiri KTT. Membangun hubungan antar-negara jauh lebih penting demi keberlangsungan kehidupan manusia. Anggota G20 perlu menegaskan komitmen pada kolaborasi, bukan boikot. Protes Amerika terhadap Rusia, dan sebaliknya, tidak harus diwujudkan  dalam bentuk memboikot G20.  

Sebagai tuan rumah, Indonesia memang bertugas menegaskan komitmen anggota bahwa G20 adalah tempat negara elit melakukan kerja sama. Meski demikian, Indonesia harus mampu memanfaatkan waktu tersisa ini untuk memperoleh jaminan kehadiran semua anggota di KTT G20 mendatang. Ini menjadi ujian nyata bagi orientasi multilateral dalam PLN Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun