Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Krisis Myanmar Makin Meningkatkan Kecaman Internasional

4 Agustus 2022   02:05 Diperbarui: 5 Agustus 2022   17:30 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengunjuk rasa anti kudeta mengibarkan bendera partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) selama demonstrasi di Yangon, Myanmar, Jumat (14/5/2021).(Foto: AP via kompas.com) 

Semakin lama berkuasa, junta militer Myanmar semakin menjadi batu sandungan di Asia Tenggara dan menimbulkan kecaman internasional. Memang Myanmar bukan satu-satunya negara di kawasan ini yang pemerintahannya dipimpin kelompok militer. 

Ada juga Thailand, namun perilaku militer Thailand di dalam memerintah negara cenderung berbeda dan bisa diterima masyarakat alias memiliki legitimasi politik.

Bahkan jika dimasukkan ke dalam sistem politik tertutup atau otoritarianisme, maka Myanmar juga bukan satu-satunya negara yang menganut sistem itu di Asia Tenggara. Vietnam, Laos, dan Kamboja juga menganut sistem yang sama dengan Myanmar.

Namun pemerintahan di negara-negara itu tidak melakukan kekerasan terhadap rakyatnya ketika memerintah. 

Namun, yang membedakan Myanmar dari negara-negara lain di kawasan ini adalah kelompok militer merebut kekuasaan melalui kudeta dari pemerintahan hasil pemilu November 2020.

Kudeta militer menjadi persoalan terbesar sebagai penyebab masyarakat internasional tidak menerima junta militer yang berkuasa. Akibatnya, Myanmar mengalami krisis multi-dimensi, baik masalah sosial, ekonomi, dan politik.

Yang lebih parah adalah, masyarakat Myanmar tidak menerima kekuasaan junta militer alias tidak mendapat legitkmasi politik. Dalam kondisi itu, pemerintah junta militer selalu mendapat penentangan politik dari rakyatnya.

Beberapa penyebab kecaman keras dari masyarakat internasional itu adalah tindakan kekerasan, penangkapan dan penahanan aktivis oposisi pemerintahan junta. 

Para aktivis berasal dari kelompok masyarakat pendukung National League for Democracy (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi.

Setelah kudeta muncul gerakan masyarakat bernama National United Government (NUG). Salah satu pendukung kuat NUG adalah perwakilan Myanmar di PBB. 

Pada voting di Majelis Umum PBB, dutabesar Myanmar bersuara berbeda dengan pemerintah junta militer, yaitu mendukung Ukraina bersama AS dan sekutunya.

Kedua, eksekusi atau hukuman mati para aktivis itu. Empat aktivis pro-demokrasi dieksekusi mati oleh militer Myanmar, Senin (25/07). Pelaksanaan kebijakan itu diyakini merupakan hukuman mati pertama di negara tersebut sejak junta militer melakukan kudeta pada 1 Februari 2021.

Pelaksanaan hukuman mati itu dilakukan hampir bersamaan dengan pengumuman bahwa junta militer Myanmar memperpanjang keadaan darurat selama enam bulan lagi. Apalagi pemimpin junta militer Myanmar itu mendapat legitimasi persetujuan dari para anggota Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional.

Selain itu, pemimpin junta militer juga menegaskan bahwa pemilihan umum hanya bisa berlangsung ketika negara yang dilanda konflik itu "stabil dan damai". Sebelumnya, junta militer Myanmar mengumumkan keadaan darurat setelah menggulingkan pemerintah sipil Aung San Suu Kyi pada Februari tahun lalu, dan menyebabkan negara itu jatuh ke dalam kekacauan.

Perpanjangan waktu yang didefinisikan secara sepihak oleh junta militer itu secara jelas menempatkan negeri itu dalam situasi tidak stabil. Junta Myanmar mengatakan pemilihan umum akan diadakan dan keadaan darurat akan dicabut pada Agustus 2023.

Ini berarti bahwa junta militer memperpanjang waktu kekuasaannya. Sebelumnya, junta militer memberi batas waktu satu tahun yang sebelumnya telah diumumkan beberapa hari setelah kudeta.

Aung San Suu Kyi telah ditahan sejak kudeta. Suu Kyi dan para pendukungnya menghadapi bermacam tuduhan yang bisa membuatnya dipenjara lebih dari 150 tahun.

Kecaman internasional kembali muncul ketika junta militer melakukan eksekusi mati kepada empat orang aktivis pendukung demokrasi. Empat orang yang dieksekusi mati itu adalah mantan anggota parlemen Phyo Zeya Thaw, serta penulis sekaligus aktivis Ko Jimmy, Hla Myo Aung, dan Aung Thura Zaw. Mereka dihukum dengan tuduhan melakukan aksi teror.

Menurut pemerintah Myanmar, mereka terbukti memberi arahan, mengatur, dan melakukan konspirasi untuk tindakan teror brutal dan tidak manusiawi. Keempatnya didakwa melanggar Undang-Undang Antiterorisme.

Kecaman terhadap eksekusi mati itu datang dari ASEAN. Sebagai sebuah organisasi regional di kawasan Asia Tenggara, ASEAN sebenarnya telah melakukan beberapa sanksi kepada Myanmar. 

Salah satu sanksi itu masih dilakukan ASEAN hingga sekarang, yaitu menolak keberadaan perwakilan Myanmar hingga negara itu memiliki pemimpin definitif dari hasil pemilu.

Selain itu, ASEAN juga telah mengusulkan peta jalan damai kepada Jenderal Min Aung Hlaing pada pertemuan khusus pimpinan ASEAN mengenai Myanmar pada awal 2020 di Jakarta. ASEAN telah mengeluarkan 5 poin konsensus terhadap situasi di Myanmar. 

Isi konsensus itu adalah: 

1. Kekerasan harus segera dihentikan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya. 

2. Dialog konstruktif di antara semua pihak terkait harus segera dimulai untuk mencari solusi damai bagi kepentingan rakyat. 

3. Utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog, dengan bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN. 

4. ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui AHA Centre (The ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management). 

5. Utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak terkait.

Pada ASEAN Ministerial Meeting ke-55 di Phnom Penh, Kamboja, Selasa (2/8/2022) lalu, krisis Myanmar menjadi salah satu isu penting.  Sebagai Ketua ASEAN 2022, Kamboja melarang partisipasi menlu junta Myanmar dalam pertemuan.

ASEAN memandang tidak ada kemajuan signifikan dalam pelaksanaan lima poin konsensus. Selain itu, langkah Kamboja berpegang pada ketiadaan kesepakatan di antara negara anggota ASEAN untuk mengundang perwakilan junta Myanmar.

Melihat krisis Myanmar yang telah berlangsung hampir 1,2 tahun ini, ASEAN tampaknya perlu mencari cara lain yang lebih tegas untuk mendorong pemerintah Myanmar menjalankan 5 poin Konsensus ASEAN itu. 

Kemungkinan mengajak lagi pemimpin junta Myanmar berdialog menjadi salah satu pilihan agar terbuka ruang komunikasi untuk penyelesaian damai krisis di Myanmar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun