China merupakan perhentian pertama dalam lawatan Presiden Joko "Jokowi" Widodo ke tiga negara di Asia Timur selama tiga hari pada 26-28 Juli 2022. Setelah China (26/7), Presiden Jokowi juga berkunjung ke Jepang (27/7) dan Korea Selatan 28/7).Â
Ketiga negara tersebut merupakan mitra strategis bagi Indonesia, ASEAN, dan Presidensi Indonesia di G20. Selain sarat dengan muatan bilateral, kunjungan itu juga berkaitan dengan konteks kawasan melalui ASEAN dan global melalui G20.
China memang telah menjadi mitra strategis Indonesia di bidang ekonomi dan non-pertahanan keamanan. Kunjungan itu menegaskan posisi Indonesia sebagai negara berkekuatan menengah (middle power) yang memiliki kelebihan bisa mendekati China ataupun Barat tanpa mengorbankan politik bebas aktifnya.
Sementara itu, Indonesia memilih bekerja sama dengan negara-negara Barat untuk isu-isu demokrasi, keamanan, dan pertahanan. Ini dibuktikan dengan banyaknya kerjasama itu dengan Amerika Serikat (AS), misalnya. Pada waktu yang hampir bersamaan dengan kunjungan Jokowi, pasukan AS memulai latihan militer bersama dengan nama 'Garuda Shield.'
Kecenderungan itu menguatkan pola-pola politik luar negeri Indonesia yang tidak lagi berbasis dua kutub, yaitu antara Amerika Serikat (AS) dengan Rusia atau AS dengan China. Indonesia memandang masih ada banyak peluang kerjasama yang tidak memihak yang memberikan manfaat besar jika bisa dijalankan secara tepat.
Dalam lawatan ke tiga negara itu, Presiden Jokowi sebenarnya membawa tiga kepentingan strategis, yaitu hubungan bilateral RI-China, kepentingan ASEAN, dan Presidensi di G20. Dengan mengusung politik luar negeri bebas dan aktif, Indonesia lebih menonjolkan kepentingan bersama dan membuka ruang dialog semaksimal mungkin.
Bagi China, Jokowi adalah kepala negara asing pertama yang mengunjungi China setelah Olimpiade Musim Dingin Beijing pada Februari 2022. Kunjungan Jokowi ini merupakan undangan dari Presiden China Xi Jinping. Undangan itu merepresentasikan arti penting Indonesia bagi China.
Kunjungan tersebut tentu saja dapat menaikkan reputasi Indonesia sebagai negara yang mau mengupayakan mediasi bagi konflik global, termasuk mendamaikan Rusia dan Ukraina.Â
Sampai saat ini, Indonesia telah memperlihatkan kemampuan diplomasinya untuk 'berlayar' di antara berbagai kepentingan negara-negara besar (major powers), seperti AS, Rusia, dan China.
Hubungan Bilateral
Di Beijing, Presiden Jokowi bertemu dengan Presiden Xi Jinping dan PM Li Keqiang seara terpisah. Agenda pembicaraan mereka, meliputi hubungan bilateral dan isu-isu utama di kawasan regional dan internasional, termasuk Konferensi Tingkat Tinggi G20.
Bagi Indonesia, China merupakan investor terbesar ketiga setelah Singapura dan Hong Kong. Total nilai investasi China mencapai 3,2 miliar dollar AS pada 2021. Sedangkan Di bidang perdagangan, total nilai perdagangan Indonesia-China 124,3 miliar dollar AS pada 2021 atau naik 58,4 persen dari tahun sebelumnya.
Pada triwulan I-2022, nilai investasi China di Indonesia 1,4 miliar dollar AS atau meningkat 40 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya, walaupun situasi global dilanda pandemi Covid-19.
Dalam pertemuan itu, China juga menyampaikan komitmen RRC untuk menambah impor minyak kelapa sawit mentah (CPO) sebanyak satu juta ton dari Indonesia. Selain itu, RRC berjanji akan memprioritaskan impor produk pertanian dari Indonesia. Kerja sama pembangunan Green Industrial Park di Kalimantan Utara juga dibahas dalam pertemuan tersebut.
Kedua negara memiliki nota kesepahaman sinerja Global Maritime Fulcrum Vision (GMF) dan BRI pada 23 Oktober 2018. Sinergi GMF dan BRI ini menyepakati pembangunan empat koridor ekonomi di Indonesia. Keempat koridor itu, meliputi: Sumatera Utara sebagai pusat ekonomi dan bisnis untuk ASEAN, Kalimantan Utara  sebagai pusat energi dan mineral, Bali sebagai pusat ekonomi kreatif dan teknologi tinggi, dan Sulawesi Utara sebagai pusat ekonomi Lingkar Pasifik.
Dari kunjungan bilateral itu, Indonesia mendapatkan komitmen China untuk mempercepat penyelesaian berbagai proyek infrastrukturnya, termasuk kereta cepat Jakarta-Bandung. China juga berkomitmen  membeli minyak sawit mentah senilai 1 juta ton dan produk pertanian lain dari Indonesia.
Yang menarik adalah, walaupun Indonesia memiliki kedekatan dengan China di bidang ekonomi, kedekatan itu ternyata tidak berbanding lurus dengan kenyataan keamanan. China cenderung bersikap provokatif dan mengganggu kepentingan kedaulatan wilayah Indonesia di perairan Laut Natuna Utara.
Strategi hedging Indonesia di bidang ekonomi ternyata tidak memberikan dampak positif bagi kepentingan keamanan di Indonesia. Walaupun Indonesia menyatakan diri sebagai non-claimant state di wilayah yang diklaim China di nine-dashed line Laut China Selatan, kenyataan bahwa wilayah Zone Economic Exclusive (ZEE) Pulau Natuna bersinggungan dengan klaim China di LCS.
Meski demikian, hubungan ekonomi antara Indonesia-China tampaknya tidak terpengaruh oleh potensi konflik di LCS. Bahkan di tengah dunia yang dipenuhi persaingan dan cenderung anarkis, Indonesia justru selalu berinisiatif menjalin kerja sama bilateral dan multilateral demi perdamaian dan pemulihan ekonomi global.
Konteks G20
Selain menguatkan hubungan bilateral, lawatan Jokowi juga merupakan bagian diplomasinya untuk memastikan kesuksesan KTT G20, November nanti. Melalui kunjungan itu, Jokowi menyampaikan undangan langsung kepada Xi untuk hadir dalam KTT G20 di Bali.
Kehadiran Xi tentu saja m3njadi harapan dan dipandang dapat memberi bobot penting bagi keberhasilan KTT G20. Dalam kontestasi kepentingan global di antara anggota-anggota G20, China menjadi kekuatan penyeimbang di antara persaingan dua kubu, yaitu AS dan Rusia.
Kunjungan ke China berlangsung kurang dari sebulan setelah Jokowi menemui Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskow dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Kiev.
Sebagai ketua G20 tahun ini, Indonesia perlu berkoordinasi dengan semua 19 negara berperokonomian terbesar dunia dan Uni Eropa dengan baik agar semua anggota bisa menghadiri berbagai pertemuan yang berpuncak pada KTT di November mendatang.
Di tengah perkubuan global antara AS dan Rusia sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina, Indonesia merasa perlu memastikan kedatangan Presiden China Xi Jinping ke KTT G20. Sebaliknya, China telah menyampaikan dukungannya bagi Presidensi Indonesia di G20.
Sikap Indonesia sebagai presidensi G20 merupakan hasil dari politik luar negeri bebas aktif. Indonesia secara tegas menolak tekanan AS dan  tidak mengucilkan Rusia dari berbagai kegiatan G20, termasuk KTT pada November nanti.
Namun demikian, Indonesia sangat mendukung keinginan AS dan negara-negara Barat untuk mengundang Presiden Ukraina ke beberapa kegiatan, terutama KTT G20. Undangan pemerintah Indonesia telah disampaikan sendiri oleh Jokowi kepada Zelensky di Kiev.
Dibandingkan para pemimpin lain di G20, termasuk Presiden AS Joe Biden, Presiden Jokowi menjadi satu-satunya kepala negara yang mengunjungi Ukraina dan Rusia. Kepentingan utama Indonesia adalah menghadirkan semua pimpinan dari anggota di KTT G20, termasuk Presiden Ukraina.
Kenyataan itu tentu saja membuka peluang strategis bagi Indonesia untuk mendamaikan Rusia dan Ukraina. Meskipun demikian, kepentingan praktis dan strataegis Indonesia adalah mempertemukan pihak-pihak yang berperang dan mengurangi dampak perang terhadap pemulihan ekonomi global.
Konteks ASEAN
Kunjungan Jokowi juga dinilai merupakan kesempatan emas untuk menunjukkan kompetensi Indonesia sebagai pemimpin dunia. Selain menjadi ketua G20 di 2022, Indonesia bakal memegang giliran menjadi ketua ASEAN pada 2023.
Sebagai ekonomi terbesar di kawasan Asia Tenggara, China menyadari posisi Indonesia dalam upaya menjadikan kawasan Asia Tenggara dan Indo-Pasifik damai, stabil, dan makmur. Posisi kritis Indonesia terhadap pakta pertahanan AUKUS juga sangat penting bagi China.
Sebaliknya, China mendukung Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun depan. Pertemuan antara Jokowi dan Jinping menjadi peluang strategis bagi tata kelola konflik di kawasan ini.Â
Salah satu masalah kompleks yang dihadapi ASEAN adalah krisis politik di Myanmar. Kedekatan China dengan Myanmar dapat membuka jalan bagi Indonesia berkontribusi bagi perdamaian di Myanmar.
Semua kepentingan strategis itu perlu ditunjukkan dengan pembuktian bahwa Indonesia memang layak menjadi kekuatan menentukan di kawasan dan tingkat global.
Melalui kunjungan ke China, Indonesia menegaskan tiga kepentingan strategisnya. Hubungan bilateral antara Indonesia dan China berjalin berkelindan dengan negara-negara anggota ASEAN dan anggota G20.Â
Dalam konteks itu, kemitraan antara kedua negara perlu dilakukan secara terbuka dan berkelanjutan. Semangat kawasan ASEAN yang netral dan stabil dan tema G20 'recover together, recover stronger' tercermin secara jelas pada kunjungan bilateral itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H