Cara menerbitkan buku seperti ini yang dikenal dengan sebutan print-on-demand. Yang menarik adalah penerbit ini menjual buku dalam bentuk cetak (hardcopy) sesuai pesanan, bukan ebook.
Penerbitan ini mewakili perkembangan digital yang menuntut kolaborasi antara penerbit-penulis dan kenyamanan kedua pihak. Walau kedua cara di atas memiliki hasil akhir print-on-demand, namun proses awal relatif berbeda.
Dengan kemudahan cara menerbitkan buku sendiri seperti itu, penulis atau calon penulis seharusnya tidak memiliki hambatan besar lagi dalam menerbitkan buku sendiri.Â
Penulis sudah memiliki banyak pilihan untuk menerbitkan buku sendiri. Banyaknya jumlah penerbit dan banyaknya cara menerbitkan buku dapat berperan pada meningkatnya jumlah buku yang diterbitkan.
Namun demikian, seperti komentar Kompasianer di tulisan saya sebelumnya, pak Merza Gamal, banyak buku tidak diterbitkan untuk umum. Buku-buku itu dicetak dalam jumlah sangat terbatas dan hanya beredar di kalangan terbatas pula.
Buku kuliah, misalnya, hanya dijual oleh penerbitnya di lapak online penerbit. Banyak dosen menerbitkan buku hanya untuk keperluan kenaikan jabatan fungsional. Akibatnya, buku-buku semacam itu memang tidak bisa ditemukan di toko-toko buku.
Menerbitkan buku sendiri memang semakin mudah dengan banyak pilihan cara. Namun demikian, semua itu kembali kepada tujuan penulis, yaitu memasarkan buku kepada khalayak ramai di berbagai toko buku dan lapak online atau hanya beredar terbatas di ruang-ruang eksklusif.Â
Kedua tujuan itu tidak ada yang salah atau benar. Keduanya tetap bisa dikatakan sebagai upaya penulis menerbitkan buku sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI