Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berada di Amerika Serikat (AS). Jokowi akan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) khusus ASEAN-Amerika Serikat (AS) di Washington D.C, 12-13 Mei 2022.Â
Meskipun KTT ini memiliki arti sangat strategis bagi AS dan ASEAN, pemerintah Indonesia juga memiliki kepentingan strategis dengan AS.
Sebagaimana penyelenggaraan KTT ASEAN sebelumnya, biasanya setiap negara berusaha bertemu secara bilateral dengan mitra dialognya setelah atau di sela-sela pembicaraan mengenai agenda regional. Presiden Jokowi tampaknya menyadari kenyataan bahwa Presiden Biden menunggu pembicaraan bilateral itu.
Dalam KTT itu, Indonesia memiliki modalitas kuat dalam berdiplomasi dengan AS. Beberapa modalitas itu merupakan respon kebijakan luar negeri Indonesia terhadap berbagai perkembangan internasional baru-baru ini.
Presidensi G20
Dalam posisinya sebagai presiden G20 pada 2022 ini Presiden Jokowi telah mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky ke Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali akhir tahun ini. Melalui undangan itu, Jokowi menegaskan kepentingan Indonesia bahwa KTT G20 dapat menjadi katalisator pemulihan ekonomi dunia.
Tugas presidensi Indonesia di G20 ini sangat berat, yaitu mendorong pemulihan ekonomi dunia tidak sekadar mengantisipasi dampak ekonomi dari pandemi Covid-19, tetapi juga dampak ekonomi dari perang Rusia-Ukraina.
Terkait dengan undangan kepada Presiden Ukraina, Jokowi juga telah menghubungi Presiden Rusia Vladimir Putin agar hadir di KTT G20. Putin telah menyatakan kesediaan hadir dalam forum tersebut, walaupun belum dikonfirmasi lebih lanjut mengenai kehadiran Putin secara langsung atau tidak langsung.
Dengan undangan kepada Ukraina dan Rusia, pemerintah Indonesia sudah mengirimkan pesan kepada anggota G20 lainnya, termasuk AS. Pesan itu merupakan bagian dari kebijakan Indonesia untuk tidak memihak kepada pihak manapun.Â
Namun begitu, Indonesia pada saat yang sama tidak pernah membenarkan dan memaafkan agresi oleh negara manapun yang mengancam kedaulatan negara lain, termasuk operasi militer khusus Rusia kepada Ukraina.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah Indonesia sejauh ini tidak memiliki rencana memberikan sanksi kepada Rusia. Melalui Kementerian Luar Negeri, pemerintah Indonesia memastikan secara tegas mengikuti aturan sanksi yang dijatuhkan PBB. Oleh karena itu, sanksi yang sifatnya unilateral bukan merupakan pilihan lazim yang akan diambil pemerintah Indonesia.
Mendamaikan Rusia-Ukraina
Jokowi berharap G20 tidak terpecah karena isu perang Rusia-Ukraina. Melalui akun Twitternya, Jokowi telah menekankan pentingnya perang segera diakhiri agar solusi damai dapat terus dikedepankan. Walaupun banyak pandangan pesimis, Indonesia tampaknya siap berkontribusi dalam upaya damai kedua pihak itu di forum G20.
Sejalan dengan pemikiran tentang perdamaian itu, Presiden Jokowi menolak mengirim bantuan senjata ke Ukraina, seperti permintaan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.Â
Sejalan dengan konstitusi dan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif tidak memperbolehkan negara ini memasok senjata ke negara lain, termasuk Ukraina.
Selain itu, Indonesia tak menutup pintu untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada Ukraina. Selama ini, Indonesia telah secara aktif memberikan bantuan kemanusiaan kepada berbagai negara, seperti Palestina, Myanmar, Afghanistan, dan Sri Lanka.
Tantangan
Meskipun demikian, Indonesia tidak menutup mata terhadap pandangan kritis AS dan anggota G20 lain terhadap undangan kepada Ukraina dan Rusia. Presiden Biden telah menyampaikan secara terbuka pandangannya menentang kehadiran Putin di G20.
Selanjutnya, Indonesia juga mengetahui bahwa AS dan Uni Eropa (UE) juga mendesak Indonesia menggunakan posisinya di G20 untuk memberi sanksi ke Rusia.
Kedua isu di atas sangat berbeda dengan posisi Indonesia. Walaupun AS dan UE sudah mengetahui pandangan Indonesia, anggota G7 itu belum merespon sikap terakhir Indonesia. Kenyataan ini menjadi tantangan berat Indonesia untuk kesuksesan presidensi G20.
Meskipun demikian, Biden sangat mendukung diundangnya Ukraina pada perhelatan G20. Undangan pemerintah Indonesia kepada Presiden Ukraina tidak dapat disangkal merupakan upaya diplomasi Indonesia memenuhi tuntutan AS dan sekutunya.
Sementara itu, Rusia dan Ukraina tercatat sudah beberapa kali menyelenggarakan perundingan damai sebagai upaya menghentikan perang. Namun, hingga kini perundingan itu belum mengasilkan kesepakatan damai yang signifikan.
Negosiasi terakhir berlangsung di Turki pada akhir Maret lalu. Hasil pertemuan itu, di antaranya kemungkinan pertemuan antar presiden kedua negara itu, Ukraina siap berstatus netral dan non nuklir, perundingan lebih lanjut status Crimea selama 15 tahun, jaminan keamanan Ukraina, dan gagal mencapai gencatan senjata.
Kenyataan yang tidak bisa dihindarkan adalah bahwa perkembangan situasi di medan perang cenderung berbeda dengan di meja perundingan Rusia-Ukraina. Bahkan perundingan damai itu juga belum tentu menghentikan sanksi ekonomi negara-negara Barat, berbagai perusahaan multinasional, dan masyarakat internasional kepada Rusia.
Dengan situasi yang berat itu, pertemuan bilateral Presiden Jokowi dan Presiden Biden menjadi sangat strategis. Kontribusi Indonesia dalam penyelesaian damai bagi Rusia-Ukraina tampaknya menjadi sangat terbatas, yaitu sebagai presidensi G20. Dalam keterbatasan itu, Indonesia memerlukan dukungan AS.
Yang menarik adalah meski terbatas, kontribusi Indonesia melalui G20 bisa saja menjadi awal bagi perdamaian Rusia-Ukraina dan pemulihan ekonomi dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H