Dalam dinamika tarik ulur itu, Myanmar akhirnya menyetujui penunjukkan utusan khusus ASEAN. Namun demikian, Myanmar tetap menolak keras empat konsensus lainnya.
Konsekuensinya adalah ASEAN mengeluarkan kebijakan kedua, yaitu kebijakan 'pengucilan' kepada Myanmar. Setidaknya empat (4) pertemuan puncak baik di antara ke-10 negara anggota ASEAN maupun ASEAN dengan negara mitra (seperti China dan Uni Eropa) tidak mengundang pemimpin junta militer Myanmar.Â
Tekanan ASEAN agar Myanmar mengirimkan perwakilan non-militer disambut dengan ketidakhadiran Myanmar di forum-forum ASEAN.
Sampai April 2022 ini, Myanmar telah ditinggalkan oleh sembilan negara anggota pada dua Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, 26-28 Oktober 2021.Â
Myanmar juga dikucikan pada KTT Khusus ASEAN-China untuk memperingati 30 tahun hubungan ASEAN-China pada November 2021. Selanjutnya, keterisolasian Myanmar juga terjadi pada KTT ASEAN-Uni Eropa menggelar pertemuan Asia-Eropa (ASEM) Ke-13, Januari 2022.Â
Pada pertengahan Mei mendatang, Myanmar juga dikawatirkan tidak hadir pada KTT antara para pemimpin ASEAN dengan Presiden AS Joe Biden.Â
Di tengah  ketidakberdayaan ASEAN menyelesaikan persoalan regionalnya, KTT ASEAN-AS dikawatirkan akan menambah persoalan baru bagi ASEAN, baik secara kolektif maupun individual di tingkat nasional.Â
Pada pertemuan itu, AS diprediksi akan menekan negara-negara anggota ASEAN agar memberikan sanksi kepada Rusia dan mendukung Ukraina secara lebih tegas.Â
Sementara itu, berlanjutnya krisis Myanmar telah meningkatkan kritik keras kepada ASEAN. Satu-satunya organisasi regional di kawasan Asia Tenggara itu dianggap tidak mampu menawarkan solusi alternatif bagi Myanmar. Alih-alih menyelesaikan, ASEAN justru semakin menjauhkan diri dari Myanmar.
Faktor Kamboja
Ketidakmampuan ASEAN dan penolakan terus-menerus Myanmar ternyata menghadapi persoalan baru, yaitu pergantian kepemimpinan atau keketuaan ASEAN dari Brunei Darusallam ke Kamboja pada 2022 ini.Â