Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Peran Strategis Indonesia di G20 Dalam Mengurangi Dampak Perang Rusia-Ukraina

15 Maret 2022   01:55 Diperbarui: 15 Maret 2022   05:15 1272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo (kedua) menerima keketuaan atau Presidensi KTT G20 dari Perdana Menteri Italia Mario Draghi (kanan) pada sesi penutupan KTT G20 di Roma, Italia, Minggu (31/10/2021) (ANTARA FOTO/LAILY RACHEV)

Perhelatan G20 pada 2022 ini memang berbeda ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Sebagai Ketua atau Presiden G20, Indonesia juga dihadapkan pada implikasi global dari perang Rusia-Ukraina. Akibatnya, G20 menghadapi dua tantangan global, yaitu dampak dari pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.

Perubahan dunia itu secara tidak langsung menempatkan posisi Indonesia menjadi semakin penting. 

Tema Presidensi G20, yaitu “Recover Together, Recover Stronger” tidak hanya berkaitan dengan pemulihan ekonomi global setelah pandemi, namun juga setelah perang itu. 

Dengan mengusung tema itu, negara-negara di dunia diharapkan dapat segera pulih di berbagai sektor ekonomi.

Selain itu, tema tersebut juga diharapkan dapat mendorong pemulihan yang ke depannya mempunyai ketahanan dan keberlanjutan bagi negara-negara di dunia. Jadi manfaat G20 tidak hanya terbatas untuk 20 negara anggota G20, namun kepada 190 lebih negara di dunia.

Perang Rusia-Ukraina

Presidensi G20 dihadapkan pada persoalan yang berkaitan dengan implikasi dari perang Rusia-Ukraina. Perang itu sudah berlangsung sejak 24 Februari 2022, tanpa kejelasan kapan akan selesai. Hingga hari ke-20 ini, perang masih berlangsung di kota-kota Ukraina. Tiga kali inisiatif perdamaian tampaknya belum mampu meyakinkan kedua negara untuk menyepakati gencatan senjata.

Dampaknya adalah lebih dari 1 juta penduduk Ukraina menjadi pengungsi di negara-negara sekitarnya. Perekonomian negara itu luluh lantak. Masyarakat Ukraina tidak bisa lagi menjalankan kegiatan secara leluasa. Perang melawan serangan militer Rusia menjadi fokus utama ketimbang pandemi Covid-19.

Walaupun secara fisik lebih aman, warga Rusia mulai merasakan dampak dari sanksi ekonomi dari berbagai negara dan perusahaan global. Banyak negara-negara yang menyetujui resolusi PBB menutup semua aktivitas yang berkaitan dengan Rusia di negara-negara mereka, termasuk Singapura. Berbagai perusahaan global mulai hengkang dari Rusia, termasuk perusahaan waralaba cepat saji, seperti McDonald.

Sementara itu, Rusia ternyata mampu bertahan hingga kini dari berbagai sanksi ekonomi global itu. Bahkan Rusia membalas dengan mengurangi dan bahkan menghentikan ekspor berbagai produk andalannya, seperti gas ke negara-negara Eropa. 

Berbagai negara di Eropa yang sangat tergantung pada pasokan energi Rusia mengalami akibatnya secara langsung dalam bentuk kenaikan harga.

Kenyataan itu menunjukkan bahwa perang ---atau operasi militer khusus dalam perspektif Rusia--- itu ternyata hanya tidak terbatas pada baku alat utama sistem persenjataan (alutsista) militer saja. 

Perang militer memang hanya terbatas pada Rusia dan Ukraina saja. Perang itu juga melibatkan pada tindakan sanksi ekonomi saling balas.

www.merdeka.com
www.merdeka.com
Persoalannya adalah bahwa perang itu dan sanksi ekonomi itu diprediksi dapat menimbulkan dampak global, jika tidak segera diselesaikan. 

Memasuki hari ke-20 perang, kedua negara masih belum menemukan solusi signifikan. Selain itu, persoalan menjadi bertambah pelik dengan kemungkinan bahwa perundingan damai kedua negara itu belum tentu diikuti oleh pengurangan atau penghentian sanksi ekonomi.

Peran negara anggota G20

Hal yang lebih menarik adalah bahwa sanksi ekonomi itu terjadi di antara negara-negara anggota G20. Ke-20 negara anggota organisasi G20 adalah Australia, Argentina, Brasil, Kanada, China, Uni Eropa, Jerman, Prancis, India, Indonesia, Italia, Jepang, Meksiko, Arab Saudi, Rusia, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat (AS).

Di antara negara-negara itu, sebagian besar adalah pendukung Ukraina. Mereka termasuk di dalam 141 negara pendukung resolusi PBB yang mengecam invasi Rusia ke Ukraina dan menuntut Rusia menghentikan perang itu. Banyak dari mereka telah memberlakukan sanksi ekonomi kepada Rusia.

Sebaliknya, Rusia menganggap negara-negara itu sebagai negara yang tidak bersahabat. Sedangkan negara-negara pendukung Rusia adalah yang tidak memihak alias abstain terhadap resolusi PBB, seperti India dan China.

Posisi menarik ada di tangan Turki dan Indonesia. Walaupun kedua negara merupakan pendukung resolusi PBB, Turki berhasil menjadi mediator pada pertemuan ketiga bagi Rusia-Ukraina untuk membicarakan perdamaian. 

Pada pertemuan damai keempat, Turki kemungkinan akan bersama Israel menjajaki perdamaian antara Rusia-Ukraina.

Peran strategis Indonesia

Selanjutnya, posisi Indonesia di G20 juga sangat strategis. Dengan posisi Presidensi G20, Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk bisa memulihkan ekonomi global dari pandemi Covid-19 dan dampak perang Rusia-Ukraina. Kedua krisis global itu perlu dikelola dengan baik melalui peran strategis Indonesia di G20.

Indonesia tidak perlu menawarkan diri sebagai mediator Rusia-Ukraina, namun harus fokus pada peran strategis yang Indonesia dapat mainkan untuk mendorong kerja sama ekonomi. Walaupun tidak secara langsung, Indonesia dapat bekerja sama dengan Turki yang berposisi sebagai mediator Rusia-Ukraina pada saat ini.

Melalui G20, Indonesia dapat berperan dalam mendorong negara-negara anggota G20 untuk mengurangi dan menghentikan tidak sanksi ekonomi di antara mereka yang berkaitan dengan perang Rusia-Ukraina. 

Jika perang berkepanjangan, maka perang Rusia-Ukraina dan sanksi ekonomi dapat memperlambat pemulihan ekonomi global dari krisis kesehatan. 

Perang Rusia dan Ukraina yang berkepanjangan juga dapat berdampak signifikan terhadap kehadiran para pemimpin dunia di Konperensi Tingkat Tinggi G20. Salah satu kekawatiran yang harus dihindari Indonesia adalah ketidakhadiran Presiden Rusia Vladimir Putin pada pertemuan G20.

G20 memang bukan organisasi, seperti ASEAN atau Uni Eropa. Meskipun demikian, G20 merupakan forum multilateral di antara 20 negara. 

Perhelatan G20, pandemi Covid-19 tetap penting, sehingga memang tetap mendesak untuk menjadi agenda G20. Banyak persoalan pandemi dan dampak ekonomi dari pandemi yang perlu diatur ulang dalam kerangka G20 ini.

Indonesia harus mampu memanfaatkan karakteristik unik yang dimiliki G20. Salah satu peran strategis itu adalah kemampuan Indonesia menggunakan platform kerja sama G20 ini sebagai sarana efektif dalam membentuk norma global. 

Kesepakatan ke-20 negara anggota akan membuat norma itu harus mampu memandu tata kelola ekonomi global pasca pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun