Rusia adalah Putin. Demikian pula sebaliknya, Rusia adalah Putin. Personifikasi Rusia di dalam seorang Vladimir Putin menjadi negara-negara di dunia dapat 'dengan mudah' memahami politik global Rusia.Â
Personifikasi semacam juga dapat dipakai untuk memahami perilaku global Korea Utara dalam diri Kim Jong Un dan China di dalam pribadi pemimpinnya, yaitu Xi Jinping.
Pada masa lalu, kecenderungan serupa bisa didapatkan dari memperhatikan perilaku Irak dari kondisi personal Presidennya, yaitu Saddam Hussein. Begitu pula dengan Libya dengan Moammar Ghaddafi, dan seterusnya.
Dari aspek struktur pemerintahan, negara-negara itu dikenal sebagai negara otoriter atau, mudahnya, bukan negara demokratis. Memang negara-negara otoriter itu masih bisa dibagi ke dalam beberapa varian. Bahkan beberapa di antara mereka menjalankan prosedur-prosedur demokrasi, yaitu pemilihan umum (pemilu).
Namun demikian, pemilu itu hanya sekadar prosedur untuk memperkuat pemimpin politiknya untuk berkuasa secara terus-menerus. Demokratisasi memerlukan semua stakeholder menempatkan demokrasi sebagai cara dan, sekaligus, tujuan bernegara. Bukan salah satunya, seperti Rusia dan lain-lain, yang menggunakan cara-cara demokratis demi melanggengkan kekuasaannya.Â
Ketika berbagai negara demokratis itu berganti pemimpinnya sesuai dengan aturan batasan waktu memerintah, pemimpin -- seperti Putin, Jinping, Jong Un, tetap berkuasa dalam waktu lama. Pengaruh personal terhadap struktur politik menjadi berpotensi melembaga.
Dengan cara itu, sikap keras Putin terhadap Ukraina perlu dipahami dalam kerangka upaya Rusia mempertahankan pengaruh strategisnya di negara bekas Uni Soviet itu. Kecenderungan Putin bersikap keras kepada negara-negara bekas Uni Soviet, termasuk Ukraina, setidaknya disebabkan oleh 2 faktor utama.
Sentralisasi struktur domestik
Struktur domestik seperti itu bermanfaat untuk memahami Rusia. Yang menarik adalah pertanyaan, yaitu bagaimana struktur politik domestik yang didominasi oleh kepribadian Putin memandang negara lain?
Ketika Rusia mengalami krisis dalam hubungannya dengan negara tetangga terdekat (near abroad) semacam Ukraina, maka krisis hubungan itu perlu dilihat dari aspek bagaimana Putin melihat Ukraina dalam konteks kepentingan keamanannya.Â
Ada 14 negara yang disebut sebagai near abroad itu, selain Rusia, seperti Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Latvia, Lithuania, Moldova, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan
Selanjutnya, dominasi pemikiran Putin masuk ke dalam sistem politik Rusia. Tidak ada atau sangat sedikit peluang bagi politisi lain d Rusia untuk mendapatkan ruang pengaruh dalam pengambilan kebijakan luar negeri negara besar itu. Yang ada adalah orang-orang berpengaruh di lingkaran terdekat Putin, seperti Menteri Luar Negeri pada saat ini, Sergei Lavrov. Sementara itu, kelompok atau tokoh-tokoh posisi tidak memiliki ruang diskusi publik untuk memengaruhi kebijakan.
Dalam struktur politik domestik yang tersentral di tangan Putin, partai-partai politik tidak mampu membendung pengaruh mantan pemimpin FSB atau kelanjutan dari KGB. Pengaruh kekuasaan dan kelompok-kelompok pendukung Putin telah memungkinkan dominasi politik itu mengakar dari struktur pusat ke regional dan lokal di Rusia.
Ketika Putin muncul sebagai seorang kepala dinas keamanan federal, FSB, di bawah pemerintahan Boris Yeltsin, Rusia mengalami masa kesulitan struktural, yaitu tidak mampu mengendalikan akibat dari liberalisasi politik dan ekonomi di masa itu.Â
Uni Soviet terpecah dan tercerai-berai, sementara itu pemerintahan baru paska-Uni Soviet tidak mampu mengendalikan lagi kontrol terpusat.
Dalam situasi itu, kemunculan Putin sebagai Direktur FSB menjadi tokoh baru yang dipandang mampu menyatukan lagi Rusia baru. Pembenahan dan konsolidasi politik domestik dilakukan Putin sebagai pengganti Presiden Boris Yeltsin.
Putin pun mengikuti perkembangan liberalisasi politik dengan menggunakan sentralisasi kekuasaan di tangannya. Pengaruh politiknya menyebar di Parlemen Rusia atau Duma, termasuk partai politik Rusia Bersatu.
Dinamika Internasional
Perkembangan internasional yang dinamis telah menempatkan Rusia paska-Yeltsin sebagai semacam negara gagal. Para pemimpin Rusia selalu diuji oleh kemampuannya mengembalikan kekuatan Rusia sebagai negara besar, seperti Uni Soviet.Â
Dua persoalan besar segera menghadang pemimpin Rusia. Pertama, bagaimana Rusia mempertahankan pengaruhnya di negara-negara yang berbatasan langsung (near abroad)? Rusia tidak bisa lagi bertindak seperti Uni Soviet di masa lalu, yaitu melakukan penaklukan atau invasi militer.
Setelah berhasil melakukan konsolidasi kekuatan domestik, Putin mulai mengatur lingkungan pengaruhnya ke negara-negara tetangga yang pernah berada di bawah pengaruh Uni Soviet.Â
Berbagai kesepakatan bilateral dilakukan berdasarkan hubungan masa lalu. Ketika upaya menemui persoalan, maka mobilisasi kekuatan militer dilakukan Rusia untuk menekan negara-negara itu.Â
Bagi Rusia, urgensi untuk mempertahankan pengaruh kekuasaan itu penting mengingat Rusia memiliki pusat-pusat pertahanan strategis di negara-negara itu.Â
Rusia berhasil mendapatkan komitmen mereka melalui kesepakatan Commonwealth of Independent States (CIS) di antara 11 negara, meliputi Armenia, Azerbaijan, Belarus, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Moldova, Russia, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Salah satu jaminan Rusia adalah kecenderungan para pemimpin di negara-negara itu mendukung Putin. Salah satu negara anggota CIS itu adalah Ukraina.
Krisis Ukraina
Ketika Ukraina ingin melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Rusia dan hendak bergabung ke NATO, maka Rusia tentu saja meradang. Ukraina sebagai wilayah penyangga bagi pertahanan dan keamanan Rusia bakal jatuh ke tangan NATO yang dipimpin AS.Â
Persoalan kedua adalah bahwa selama ini, Rusia selalu memprotes kecenderungan invasif NATO untuk menambah keanggotaannya, termasuk ke negara-negara bekas Uni Soviet. Berkali-kali Rusia telah memperingatkan NATO agar tidak memperluas keanggotaannya ke wilayah Timur.
Kenyataan itu membuat Rusia perlu mengkhawatirkan prediksi bahwa Ukraina menjadi anggota NATO bakal terwujud. Rusia pun tidak bisa dielakkan membayangkan negara-negara lain di sekitarnya juga akan bergabung dengan NATO. Jika setiap negara yang berbatasan langsung dengannya benar-benar bergabung, maka Rusia harus mendefinisikan ulang pertahanan wilayahnya yang luas.
Kekhawatiran itu mendorong Putin untuk segera merespon kemungkinan tidak terduga terhadap Ukraina. Apalagi dukungan NATO dan AS terhadap Ukraina semakin meningkatkan rasa tidak aman Rusia, khususnya di daerah perbatasan dengan Ukraina.Â
Kenyataan bahwa kekuatan militer NATO dan AS telah 'hadir' di Ukraina semakin menempatkan Putin untuk berpotensi mengambil kebijakan pertahanan mengamankan wilayahnya, jika perlu wilayah-wilayah bekas Uni Soviet.Â
Masyarakat internasional tentu saja berharap Rusia dan AS-NATO tetap mengutamakan penyelesaian terhadap krisis Ukraina ini. AS dan NATO perlu memahami upaya Rusia ---khususnya--- Putin untuk mempertahankan pengaruh strategisnya di negara-negara bekas Uni Soviet dengan menghentikan perluasan keanggotaan NATO ke wilayah Timur.Â
Sebaliknya, Rusia juga perlu memperhatikan dinamika domestik yang berubah di negara-negara itu, termasuk Ukraina. Putin mungkin memerlukan cara-cara alternatif agar negara-negara di sekitarnya tetap memberikan jaminan keamanan bagi Rusia.Â
Pada akhirnya, masyarakat internasional sangat berharap ada upaya-upaya terobosan bagi perdamaian di antara Rusia dan Ukraina tidak mengarah pada perang dunia ke-3.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H