Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Metaverse Bikin Heboh: Alun-Alun Utara Yogyakarta Sudah Ada yang Beli...

8 Januari 2022   00:20 Diperbarui: 8 Januari 2022   10:04 4080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://twitter.com/ridlwandjogja

Baru 7 hari tahun baru 2022 berjalan, metaverse sudah bikin heboh banyak orang, khususnya di Yogyakarta. Sebuah akun twitter @ridlwandjogja (lihat gambar di bawah ini) menuliskan minatnya membeli alun-alun utara di metaverse, namun kawasan itu ternyata sudah dibeli orang. Agar orang yakin, akun itu memasang screen shot harga jual Alun-alun Utara. 

Informasi ini segera tersebar dan membuat sebagian orang (di) Yogyakarta dan, tentu saja, pemerintah daerah setempat memberikan respon variatif. Penyebaran informasi itu berlangsung lewat media sosial Whatsapp, Facebook, Instagram, dan, bahkan, Youtube. Beberapa stasiun televisi juga menyiarkan berita tersebut dan fenomena pembelian tanah digital di lokasi lain di Indonesia.

https://twitter.com/ridlwandjogja
https://twitter.com/ridlwandjogja

Di jaman metaverse, sebuah permainan digital bertiga dimensi (3D) dibuat dengan mereka ulang peta dunia, termasuk Yogyakarta. Melalui permainan itu, seorang pengguna atau user (setelah memenuhi beberapa syarat sign/log in, dan lain-lain) dapat melakukan transaksi digital untuk membeli tanah di lokasi yang diinginkan. Tulisan ini lebih melihat pernak-pernik dari fenomena jual-beli tanah digital di metaverse.

Sebelum itu, kita perlu tahu arti penting Alun-alun Utara bagi kota dan masyarakat Yogyakarta. Dalam catatan sejarah, Alun-Alun Utara dibangun sekitar tahun 1755 berbarengan dengan pendirian Kraton Yogyakarta. Sementara itu, Kraton Yogyakarta sendiri berdiri sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti. Alun-alun utara adalah halaman depan Kraton Yogyakarta. 

Kawasan ini sangat ramai dan terletak dekat sekali dengan kawasan Malioboro dan juga titik nol KM Yogyakarta. Sebelum pandemi Covid-19, alun-alun ini sering menjadi tempat berbagai macam acara menarik, khususnya bagi anak-anak, dan menjadi daya tarik pengunjung dari Yogyakarta dan kota-kota di sekitarnya. 

Salah satu acara tahunan favorit adalah Sekaten. Arus lalu lintas di sekitar daerah itu biasanya macet, namun tetap tidak mengurangi antusiasme para pengunjung untuk melihat Sekatan.

Bisa dibayangkan hebohnya orang Yogyakarta, ketika Alun-Alun Utara itu sudah dijual dan, pasti, ada pembelinya. Dugaan hebohnya berita itu benar belaka ketika mendengar respon dari persebaran berita itu di media perpesanan semacam whatsapp. 

Bahkan dengan merunut informasi itu di berbagai berita online juga menunjukkan kecenderungan berita itu menjadi viral dalam waktu tertentu dan menjadi kontroversi di masyarakat dan pemda setempat.

Dari berita-berita yang beredar itu, ada tiga isu yang setidaknya menarik dibahas di tulisan ini.

1. Jual-beli tanah digital terjadi di aplikasi Next Earth

Next Earth merupakan sebuah situs yang menggabungkan teknologi peta digital, blockhain, dan konsep metaverse. Situs itu dapat diakses melalui gadget, seperti memasuki situs Google atau Here yang telah memotret peta dunia. 

Peta dunia itu telah kita gunakan sehari-hari untuk navigasi atau mencari tempat. Peta digital tersebut kemudian dijadikan sebagai lahan virtual yang dikenal dengan Tiles. 

Selanjutnya, tiles yang menjadi representasi tanah atau lokasi tanag tersebut dapat diperjualbelikan dengan teknologi Blockchain yang sudah populer dengan nama Crypto. Oleh karena itu, situs Next Earth adalah tempat jual beli crypto currency dengan menggunakan tanah virtual sebagai asetnya. 

2. Alun-alun Utara Yogyakarta Dijual 1,32 USDT

Di situs itu, Kompleks Kepatihan bernilai 17,39 USDT, Gedung Agung dihargai 36,84 USDT, dan Alun-alun Utara dijual 237,56 USDT. Tempat-tempat itu diperjualbelikan seharga belasan hingga ratusan USDT (United States Dollar Tether), yaitu mata uang crypto currency.

Lokasi strategis lain, seperti Monas di Jakarta, juga masuk dalam daftar penjualan virtual. Selain, sejumlah tempat populer di dunia juga masuk dalam daftar incaran para pengguna situs itu, seperti Rockeffeler Centre di New York dan Hollywood (Amerika Serikat).
Alun-alun Utara Yogyakarta sendiri kini memiliki harga USDT 208,16 dan harga per tile USDT 1.14 di Next Earth. Sementara untuk Monas, harganya saat ini sekitar USDT 29,91. 

Konon, semakin sering tanah virtual itu berpindah tangan atau diperjualbelikan, semakim mahal harganya. Keuntungan pemilik pertama, kabarnya, adalah nilai penjualan dan prosentase atau komisi dari setiap penjualan tanah virtual itu. Memang unsur spekulasi tidak bisa dihindari, namun semakin banyaknya pengguna situs itu dapat menimbulkan efek positif bagi transaksi jual-beli virtual itu.

3. Respon Pemda DIY

Menanggapi berita itu, Pemda DIY melalui Kepala Bagian Humas Biro Humas dan Protokoler Pemda DIY Ditya Nanaryo Aji menjelaskan bahwa Pemda DIY tidak pernah bekerja sama atau mengizinkan penjualan lokasi-lokasi tersebut secara virtual dengan pihak-pihak tertentu di situs Next Earth, apalagi merekomendasikan atau mengizinkan jual beli secara virtual aset-aset itu. Lebih lanjut, Sekda DIY Kadarmanta Baskara Aji mengatakan Pemda DIY siap mengambil tindakan jika ada hal-hal yang merugikan dari kegiatan virtual itu.

Respon itu penting untuk mengetahui sejauh mana pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah, mengantisipasi fenomena ini. Hal ini harus disadari dari awal karena pemanfaatan kepemilikan barang atau lokasi secara virtual bisa dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi sepihak. Hal itu sebenarnya baru bisa dirasakan 5-10 tahun yang akan datang, sehingga pemerintah perlu melakukan antisipasi dan menyikapi perkembangan digital itu dari aspek aturan main.

Pelajaran penting

Lalu, apa pelajaran penting dari isu-isu di atas? Sebelum membahas ketiga isu tersebut, konsep sederhana mengenai metaverse perlu disampaikan di sini. Berdasarkan berita-berita itu, maka Next Earth, Earth 2, dan situs-situs lainnya sebenarnya merupakan evolusi dari sebuah video game yang menghubungkan aktivitas dunia nyata ke dunia virtual. Video game, seperti the SIMS atau Second Life, adalah sebuah video game yang merupakan cikal bakal metaverse. Di dunia metaverse, manusia dapat melakukan kegiatan apa saja dengan kehadiran virtualnya.

Video game itu bahkan bisa menjadi sebuah dunia virtual yang mereplikasi kondisi dunia nyata. Ada kembaran antara dunia nyata dan dunia rekaannya. Ubisoft, misalnya, telah mengembangkan permainan virtual The Crew. Game itu memvirtualkan 10.000 KM jalan di Amerika Utara dalam sebuah video game balapan. Permainan-permainan lainnya tentu saja bisa ditambahkan di sini.

Pertama, game-game virtual itu masih merupakan transisi dari dunia rekaan atau metaverse menurut gambaran mas Mark Zukerberg, sang pemilik Facebook...eh...Meta itu. Metaverse dinikmati melalui kacamata digital/virtual 3D atau Oculus, sehingga pemakai dapat merasakan secara langsung. Ini berbeda dengan situs-situs Next Earth dan semacamnya yang masih menggunakan layar smarthphone atau komputer pribadi dengan internet berkoneksi cepat.

Kedua, meskipun demikian pemanfaatan permainan jual-beli tanah digital itu perlu diantisipasi. Pemerintah di tingkat pusat, propinsi, dan daerah perlu mempelajari resiko ekonomi dan politik dari fenomena digital ini. Aspek perpajakan dan lainnya perlu dipahami oleh pemerintah agar tidak sekedar bersikap reaktif saja. 

Walaupun menggunakan matauang crypto, perkembangan transaksi digital tetap memerlukan perhatian pemerintah. Dengan respon yang cepat dan tepat, pemerintah dapat menginisiasi regulasi-regulasi transaksi digital berkaitan dengan aspek-aspek politik, khususnya pertahanan dan keamanan.

Ketiga, faktor edukasi masyarakat dan pemerintah. Faktor ini sangat penting agar masyarakat tidak mudah terjerembab pada hal-hal yang di luar pengetahuannya. Reaksi awal dari berita ini bisa saja kekagetan sebagian masyarakat yang belum paham mengenai meta atau metaverse itu. 

Penulisan 'dunia meta' seharusnya memunculkan daya kritis lebih bahwa transaksi itu tidak terjadi di dunia nyata. Adalah tidak mungkin bahwa Pemda DIY atau Kraton Yogyakarta menjual aset berharganya, baik di dunia nyata maupun metaverse. Mengedukasi masyarakat dan jajaran pemerintah merupakan proses panjang, namun perkembangan pesat metaverse menuntut kesigapan kedua pihak itu.

Akhirnya berita-berita itu tentu saja memiliki faktor edukasi juga. Memang pada awalnya berita itu mengagetkan dan menimbulkan berbagai ekspresi positif atau negatif. Namun demikian, faktor positif dari berita itu adalah bahwa sebagian masyarakat juga memahami metaverse itu sebagai bagian dari dunia rekaan. 

Kenyataan bahwa metaverse mulai berada di sekitar kita merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Mau tidak mau, tahun 2022 dapat menjadi momentum bagi perkembangan pesat metaverse yang bisa jadi dapat mengagetkan kita semua. 

Yang pasti, jagat metaverse masih dan akan tetap imun atau kebal dari pandemi Covid-19 dan berbagai variannya di masa datang:)

Sumber lain: 1, 2, 3, 4, 5, dan 6.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun