Berbagai negara terpaksa melarang perayaan pergantian tahun baru sebagai akibat dari kenaikan kasus Omicron. Kebijakan larangan itu berkaitan dengan upaya negara-negara untuk tidak menciptakan kerumunan warga di berbagai kegiatan berkaitan dengan tahun baru.Â
Hingga akhir tahun 2021, jumlah kasus terkonfirmasi baru Covid-19 secara harian di seluruh dunia melampaui satu juta untuk pertama kali, menembus 7,3 juta kasus dalam satu pekan terakhir.
Sejak terdeteksi pertama kalinya pada dua tahun lalu dan ditetapkan menjadi pandemi global pada Maret 2020, virus Covid-19 telah mencatatkan 5,4 juta orang lebih korban di dunia dan menimbulkan krisis ekonomi dunia.Â
Sedangkan, varian terbaru Covid-19, Omicron, telah menaikkan tingkat infeksi dalam beberapa hari terakhir. Kondisi itu, misalnya, berlangsung di Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara di Eropa, khususnya di Inggris dan Perancis. Omicron dilaporkan telah menyebar di 17 negara sejak tes positif pertama dilakukan di Afrika Selatan  9 November 2021.
Bahaya virus Omicron dikawatirkan jauh melampaui bahaya penyakit menular ganas terhadap kesehatan manusia. Bencana sekundernya di bidang ekonomi, sosial, politik dan keamanan internasional bakal memperlambat perekonomian global dan menimbulkan turbulensi politik dan keamanan di beberapa negara.
Kemunculan Omicron di akhir 2021 seakan mengancam efektifitas vaksin melawan Covid-19 selama sekitar satu tahun terakhir ini. Vaksinasi global telah berlangsung, namun varian baru tampaknya bakal bermunculan. Kecenderungan ini mengangkat setidaknya empat isu global dalam penanggulangan pandemi Covid-19 selama ini.
Pertama, kesetaraan akses terhadap vaksin (vaccine equity)
Vaksinasi ternyata menimbulkan ketimpangan yang tidak terduga dalam distribusi vaksin secara glibal. Kondisi itu dikawatirkan dapat memaksa virus untuk bermutasi sehingga melemahkan kemampuan vaksin untuk menetralisirnya.Â
Belum ada catatan resmi tentang vaksin Omicron, tetapi kenyataan menunjukkan lebih dari 80 persen stok vaksin dunia berada di tangan negara-negara G20.
Sementara itu, negara-negara termiskin - kebanyakan dari mereka di Afrika - hanya menerima 0,6 persen. Cakupan vaksin yang lebih rendah menimbulkan penyebaran penyakit yang lebih tinggi, yang memberi virus lebih banyak ruang untuk bermutasi. Persiapan itu menjadi alasan kuat bagi urgensi mengenai isu ekuitas vaksin.
Kedua, kompetisi produksi vaksin
Kompetisi dalam merespon Covid-19 tidak hanya berlangsung di antara berbagai negara, namun juga terjadi pada perusahaan-perusahaan farmasi global. BioNTech dan AstraZeneca, misalnya, telah bekerja untuk menyesuaikan keampuhab vaksin mereka terhadap varian Omicron. Vaksin baru itu mungkin masih perlu beberapa bulan lagi untuk siap diproduksi massal.
Keberadaan perusahaan-perusahaan itu di beberapa negara memunculkan isu ketimpangan produksi vaksin untuk negara di mana perusahaan-perusahaan berada. Upaya penyebaran fasilitas penelitian dan produksi vaksin mulai disadari urgensinya. AS telah berkomitmen membuat pusat produksi vaksin di Vietnam. Sedangkan Sinovac China sudah menyetujui pendirian lembaga semacam itu di Indonesia.
Ketiga, membuka dan menutup negara
Penyebaran vaksin yang mengikuti pergerakan manusia menyebabkan negara secara sepihak menerapkan kebijakan membuka dan menutup pintu-pintu internationalnya. Â Negara-negara di seluruh dunia saling berhati-hati meninjau dan belajar dari cara negara-negara lain mengelola pandemi Covid-19. Situasi itu menyebabkan ancaman Covid-19 telah meningkatkan kekuasaan negara (state-centrism).Â
Selain itu, kebijakan nasionalistik itu juga menimbulkan fenomena nasionalisme vaksin. Setiap negara lebih mementingkan kepentingan nasionalnya untuk melindungi warganegaranya dari Covid-19.
Walaupun kebijakan anti-pandemi masing-masing negara, sangat penting dilakukan,  kebijakan menutup perbatasan negara mengingatkan pada kenyataan bahwa pandemi masih jauh dari selesai. Bahkan kemunculan varian Omicron semakin menguatkan resiko penyebarannya dari luar (imported virus).
Keempat, otoritas kesehatan global
Pandemi Covid-19 juga mempengaruhi otoritas kesehatan global, yaitu Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation/WHO). Â Peran sentral WHO dalam urusan kesehatan internasional tetap tak tergantikan.Â
WHO berperan merumuskan dan menerapkan aturan global yang berkaitan dengan keamanan manusia dan kesehatan masyarakat. Karena penyebaran Covid-19 (termasuk varian Omicron) tergantung pada mobilitas manusia, WHO perlu mendorong negara-negara mengendalikan mobilitas warganegaranya.
Ada sekitar 14ribu WNI pergi-pulang dari Indonesia dan ke luar negeri hingga awal tahun baru ini. Lalu, ada WNA lebih kurang 4 ribuan orang masuk dan keluar Indonesia (Metro TV, 03/01/2022). Akibatnya, pemerintah menghimbau semua pihak untuk mengurangi atau membatalkan bepergian yang tidak perlu.
Keempat isu global di atas akan selalu mewarnai upaya menanggulangi Covid-19. Era paska-pandemi tidak akan mengakhiri mekanisme sentralisme negara dalam penanganan pandemi Covid-19.Â
Namun demikian, penguatan peran otoritas kesehatan global WHO sangat diperlukan untuk koordinasi kebijakan di antara berbagai negara.Â
Peran dan otoritas sentral WHO tetap tak tergantikan dalam mengelola ancaman pandemi Covid-19. Peningkatan koordinasi global melalui WHO bertujuan untuk menciptakan dunia yang lebih stabil, kooperatif dan lebih baik, walaupun Covid-19 telah bermutasi ke varian Omicron.
Sumber:
1. opinion.huanqiu.com
2. www.kompas.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H