Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tantangan Eksternal dalam Diplomasi Maritim Indonesia

20 Desember 2021   22:57 Diperbarui: 21 Desember 2021   07:51 1330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kapal Komando Armada I (Koarmada I) dalam latihan Operasi Dukungan Tembakan Tahun 2020 di Laut Natuna Selatan.| Sumber: Koarmada I via Kompas.com

Bulan Desember biasanya merupakan waktu yang tepat untuk melihat kembali perjalanan seseorang, lembaga, atau bahkan sebuah pemerintahan, termasuk pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi dalam diplomasi maritim. 

Diplomasi di bidang maritim menjadi semacam signature yang membedakan pemerintahan Jokowi dengan sebelumnya. Namun demikian, diplomasi maritim pada pemerintahan kedua Presiden Jokowi cenderung kurang mendapat perhatian sebagaimana di pemerintahan pertamanya.

Diplomasi maritim Indonesia sebenarnya telah menjadi bagian penting dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia sejak Presiden Jokowi memerintah di negeri ini pada 2014. 

Kata “maritim” kembali dipakai pada kampanye calon presiden pada pemilihan presiden 2014. Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla mengusung Poros Maritim Dunia. 

Pada awalnya, konsep ini merupakan sebuah gagasan politik atau election manifesto. Ketika pasangan tersebut terpilih, konsep maritim dikembangkan menjadi kebijakan nasional strategis sebagai landasan untuk membangun sektor maritim yang berkaitan dengan bidang lainnya, seperti ekonomi, pembangunan, pariwisata, dan industri. 

Komitmen itu ditegaskan pada beberapa kebijakan maritim. Pemerintah Indonesia, misalnya, melalui Menteri KKP Susi Pudjiastuti menegaskan pelaksanaan Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing) dan kapal ilegal di perairan Indonesia. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mendorong pelaksanaan diplomasi maritim melalui penyelesaian berbagai perjanjian perbatasan maritim dengan negara-negara tetangga.

Berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, diplomasi maritim pemerintahan Jokowi menimbulkan protes dan ketegangan hubungan bilateral dengan beberapa negara tetangga. Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Thailand mengecam tindakan pemerintah Indonesia yang menangkap kapal-kapal ilegal dan menenggelamkannya. 

Tindakan penangkapan ikan secara ilegal itu untuk pertama kalinya meningkatkan sanksi atau hukuman dari Indonesia terhadap nelayan-nelayan dari negara tetangga sesama anggota ASEAN.

Dalam perkembangan selanjutnya, dinamika maritim eksternal juga memerlukan perhatian Indonesia melalui diplomasi maritimnya. Kawasan Indo-Pasifik menjadi salah satu wilayah maritim yang paling diperebutkan berbagai negara pada saat ini. 

dreamstime.com
dreamstime.com

Persaingan Amerika Serikat (AS) dan China telah mengedepankan kepentingan global dan regional mereka di kawasan Indo-Pasifik. Peningkatan postur pertahanan militer China di kawasan ini dikawatirkan dapat mengganggu dominasi kepentingan AS. 

Di sisi lain, China telah mengklaim kedaulatannya di wilayah perairan Laut China Selatan (LCS). Kebijakan nine-dashed line menempatkan negara itu memiliki klaim atas wilayah perairan di berbagai negara di sekitar LCS. Akibatnya, beberapa negara di Asia Tenggara ---yang menjadi anggota ASEAN--- melancarkan protes dan menjadi konflik klaim hingga kini.

Sementara itu, meskipun ASEAN tidak dipimpin oleh kekuatan besar, tetapi organisasi regional itu mampu bertahan dan terus memperluas perannya selama lima dekade terakhir ini. ASEAN telah menegaskan sentralitas-nya, yaitu tidak berpihak, perdagangan bebas kawasan, koneksivitas antar-anggota dan dengan dunia. 

ASEAN juga berperan membangun arsitektur regional di Indo-Pasifik dalam menjaga stabilitas dan keamanan regional, melalui ASEAN-led mechanism (meliputi ASEAN Regional Forum/ARF dan ASEAN-East Asia Summit/EAS). Pandangan tersebut mendorong ASEAN memiliki pendirian menolak perebutan pengaruh antara AS dan China di Asia Tenggara.

Meskipun demikian, ASEAN menghadapi persoalan dilematis. Di satu sisi, ASEAN dituntut menunjukkan peran sentral-nya dalam tata kelola ancaman keamanan regional di kawasan. Di sisi lain, ASEAN harus menghadapi perbedaan kepentingan nasional dari ke-10 negara-negara anggotanya (lihat Tabel 1). 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Kenyataan pahit mengenai perbedaan tersebut dapat ditemukan pada sikap mereka terhadap China dalam konflik klaim di LCS dan terhadap AS pada pembentukan AUKUS. Sementara itu, mereka juga memiliki kebijakan yang berbeda pula dalam memenuhi kebutuhan vaksin untuk menanggulangi masalah pandemi Covid-19 di negara masing-masing. 

Beberapa negara bekerja sama dengan China, sedangkan negara-negara lain meminta bantuan ke AS. Sikap berbeda di antara negara-negara anggota ASEAN juga tampak pada penyelesaian krisis politik di Myanmar. Sebagian dari pertimbangan mereka dalam menyikapi krisis Myanmar disebabkan oleh faktor kedekatan beberapa negara itu dengan China atau AS.

Dinamika konflik dan perbedaan sikap atau kebijakan itu juga berlaku bagi Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia dipandang lebih mendukung AS dan kehadirannya di kawasan ini sebagai kekuatan pengimbang terhadap peningkatan kekuatan pertahanan laut China. 

Namun demikian, diplomasi Indonesia dianggap cenderung mendekati China. Kecenderungan itu terlihat pada kerja sama ekonomi atau pembangunan infrastruktur dan kesehatan atau vaksin Covid-19. 

Walaupun demikian, kedekatan Indonesia dengan China memiliki catatan. Salah satu catatan itu adalah perbedaan kedekatan Indonesia dengan empat negara lain anggota ASEAN, seperti Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Keempat negara itu memperoleh vaksin secara gratis dari China, sedangkan Indonesia membeli vaksin dari China.

Sementara itu, Indonesia bersikap sangat hati-hati dengan pembentukan pakta pertahanan AUKUS, khususnya terhadap kemungkinan Australia mendapatkan kapal selam bertenaga nuklir. Sikap hati-hati itu berkaitan dengan komitmen serius Indonesia terhadap aturan main regional, yaitu non-proliferasi nuklir, di kawasan Asia Tenggara. 

Tantangan eksternal lainnya tentu saja masih ada. Tantangan tersebut menimbulkan dinamika dalam kebijakan Indonesia mengenai politik luar negeri dan diplomasi di bidang maritim. 

Dinamika perkembangan internasional itu menuntut sustainabilitas kebijakan luar negeri dan diplomasi maritim Indonesia di masa depan, walaupun pemerintahan berganti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun