Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kebingungan Ketua RT di Zaman Milenial Punya Warga di Hunian Vertikal

17 November 2021   18:01 Diperbarui: 18 November 2021   23:04 1107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hunian vertikal | Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Semakin modern kehidupan kita, maka semakin kompleks pula persoalan yang dihadapi. Begitu juga dengan menjadi ketua Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW) di zaman milenial ini. 

Ini hanya cerita khayalan saja, meskipun fakta mengenai cerita ini sebenarnya juga ada. Jadi kalau kejadian itu memang kenyataan maka itu memang kebetulan semata.

Di zaman milenial ini, keinginan bisa tinggal di lokasi strategis menjadi sebuah kebutuhan. Lokasi strategis pun menjadi komoditas. Semakin strategis lokasi hunian, maka berbanding lurus dengan harganya yang makin mahal. 

Makin sempitnya lahan tempat tinggal, seperti rumah, menjadikan hunian tidak harus lagi 'menempel' tanah. Maksudnya adalah penghuni tidak harus berjalan di atas tanah ketika keluar rumah. Perubahan situasi itu memunculkan hunian vertikal, namanya apartemen.

Apartemen di Yogyakarta

Apakah Anda pernah membayangkan bertebaran lebih dari satu apartemen dalam jarak kurang dari satu kilometer di Yogyakarta? Kalau situasi itu terjadi di kota-kota besar ---seperti Jakarta, Surabaya, atau Medan--- bisa dikatakan wajar. 

Namun itu terjadi di Yogyakarta. Pertumbuhan apartemen di kota kecil ini kebetulan hampir bersamaan dengan maraknya pembangunan hotel. Yang lebih menarik lagi, pembangunan apartemen itu terjadi di satu kabupaten saja, yaitu Sleman.

Tanpa berpikir tentang aspek lain, orang lebih tertarik dan hanya berpikir soal dampak ekonomis dari pembangunan apartemen itu, padahal aspek lain itu adalah aspek sosial-psikologis. 

Bayangan mengenai dampak sosial-psikologis itu yang dipikirkan oleh ketua RT/RW di zaman milenial ini, khususnya dengan penghuni apartemen itu.

Dulu, salah satu wilayah 'kekuasaan' ketua RT/RW adalah rumah-rumah dengan penghuninya sebagai warga asli daerah itu. 

Ketika kampus bermunculan, ketua RT/RW mulai berpikir tentang warga dari daerah lain di Indonesia. Namun mereka semua masih tinggal dan berada di rumah-rumah. 

Sekarang, zaman milenial menyajikan persoalan milenial. Warga dari ketua RT/RW tinggal di tinggal di hunian vertikal alias apartemen itu. Makin pusing saja seorang Ketua RT/RW di zaman milenial ini.

Akibatnya, cara berpikir orang ---khususnya ketua RT/RW pun dipaksa berubah. Ketika hunian itu dibangun, ketua RT bisa saja bangga bahwa sebuah gedung akan hadir di wilayah kekuasaannya. Apalagi bangunan berlantai sekian itu adalah apartemen mewah. Pikiran sederhana bapak atau ibu RT/RW berkisar pada penghuninya yang wangi dan berasal dari kalangan ekonomi atas.

Sumber Kebingungan

Apa saja kebingungan ketua RT/RW ketika melihat gedung apartemen baru di wilayahnya? 

Pertama, kekagetan ketua RT/RW bahwa bangunan apartemen itu memiliki lebih dari 100 unit kamar alias serupa dengan lebih dari 100 rumah. 

Penghuninya misalnya dihitung rata-rata 1 unit kamar memiliki 3 warga, maka ada 300 warga sekaligus di satu lokasi apartemen.

Kebingungan kedua, bagaimana pengurusan administrasi warga penghuni apartemen? Tentu saja pada perkembangannya nanti akan ada pengurus RT/RW tersendiri di apartemen itu. 

Saya sendiri ketika dikeluhi teman yang kebetulan menjadi RT juga ikut tercenung memikirkan jawabannya. Saya cuma katakan, "Pikir saja nanti kalau memang ada masalah."

Masalah ketiga, bagaimana ketua RT/RW tahu bahwa orang yang tinggal bersama di unit-unit di apartemen itu memang sudah berkeluarga? Sekali lagi, ini terjadi di Yogyakarta. 

Bapak atau ibu RT/RW masih memiliki pikiran sederhana. Mereka bukannya tidak memiliki pemikiran luas. Bukan itu maksudnya, tetapi lebih berpikiran bahwa mereka perlu mengenal warganya.

Masalah-masalah lain tentu saja masih banyak dan tidak terbayangkan oleh RT/RW zaman dulu. 

Seingat saya, mereka juga mencoba mencari tahu bagaimana atau apa sebaiknya solusi dari masalah-masalah itu. 

Ketua RT/RW bahkan mengajak pimpinan kampus yang berada di sekitar apartemen itu untuk berbicara tentang kemungkinan persoalan itu.

Entah bagaimana hasil pembicaraan itu dan sejauh mana pembicaraan itu membantu ketua RT/RW memahami persoalan dan memiliki alternatif persoalan. 

Situasi ini terjadi 4-5 tahun lalu ketika permintaan atau demand hunian vertikal meningkat. Sekarang, ketua RT/RW mungkin sudah berpengalaman mengatasi berbagai kebingungan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun