Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

AUKUS: Strategi "Balancing" Australia terhadap China dan Akibatnya pada Indonesia

29 September 2021   19:22 Diperbarui: 29 September 2021   19:50 2344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AUKUS. Sumber: RFA.org

Setiap negara memang memiliki kedaulatan untuk menentukan sikapnya sendiri ---tanpa dapat dicampuri negara lain--- dalam menanggapi perkembangan keamanan internasional. 

Namun demikian, sikap negara itu juga perlu mempertimbangkan situasi atau lingkungan di mana negara itu berada. Dengan cara itu, maka sikap negara itu tidak mengganggu negara lain. Apalagi jika sikap itu justru menimbulkan ancaman keamanan bagi negara-negara lain di sekitarnya yang memiliki kedekatan geografis.

Kenyataan itu dilakukan Australia dalam kebijakannya bergabung dengan AUKUS. 

Negeri Kangguru itu memang mempunyai hak kedaulatan untuk menyambut uluran tangan kerjasama pertahanan dari Amerika Serikat (AS) dan Inggris, yang dikenal sebagai AUKUS. 

Kemungkinan besar negara itu juga telah mempertimbangkan lingkungan strategisnya, namun tidak menempatkannya sebagai prioritas pertimbangan strategisnya.

Australia mungkin lebih mempertimbangkan diri sebagai kekuatan baru di kawasan ini. Apalagi AS dan Inggris membantu kepentingan Australia itu melalui AUKUS. 

Dengan pakta pertahanan segitiga itu, AS akan mempersenjatai Australia dengan delapan kapal selam bertenaga nuklir. Dalam 18 bulan mendatang, kapal selam itu direncanakan akan dibangun oleh AUKUS untuk Australia. 

Akibatnya adalah Australia harus menerima suara-suara kritis dari Indonesia dan berbagai negara lain (termasuk China) terhadap kesepakatannya dengan pakta pertahanan itu.

Offensive balancing

Kebijakan Australia mempersenjatai diri melalui kapal selam AUKUS secara konseptual dapat dimasukkan ke dalam strategi balancing. Strategi balancing memungkinkan sebuah negara berkekuatan menengah (seperti Australia) mengimbangi kekuatan negara-negara besar yang sedang berkonflik. 

Upaya mengimbangi kekuatan itu dapat ditempuh dengan dua (2) cara. 

Cara pertama adalah defensive balancing. Sifat defensif itu terlihat pada sebuah negara yang berupaya mengimbangi kekuatan besar lainnya dengan meningkatkan pertahanan nasionalnya. 

Salah satu caranya adalah melalui pembelian persenjataan atau alat utama sistem persenjataan (alutsista).

Cara kedua, yaitu offensive balancing. Strategi ini memungkinkan sebuah negara menjalankan balancing dengan mempersenjatai diri dari pihak luar. Australia menjadi contoh untuk offensive balancing ini. 

Sebagai negara berkekuatan menengah atau middle power, Australia sendiri sebenarnya berkeinginan mengimbangi kekuatan ekonomi dan politik-pertahanan China selama ini.

Sementara itu, sistem politik Australia dipimpin oleh seorang perdana menteri (PM) dari Partai Liberal yang berhaluan konservatif, Scott Morrison. 

Berbeda dengan PM dari Partai Buruh yang cenderung dekat dan mempertimbangkan lingkungan strategis di sekitarnya, PM Australia itu lebih mengikuti apa kata AS di bawah Presiden Joe Biden. 

Lingkungan strategis

Persoalannya adalah bahwa AUKUS menimbulkan kecaman dari berbagai pihak di kawasan Indo-Pasifik. Kawasan ini merupakan lingkungan strategis baru yang dipakai untuk menggantikan istilah Asia Pasifik. 

Kawasan ini terbagi ke dalam pengaruh AS dan China. Yang menarik, tidak semua negara pendukung AS menyetujuai pakta pertahanan AUKUS. 

Pangkal ketidaksetujuan mereka adalah kapal selam bertenaga nuklir yang diberikan kepada Australia.

Negara terdekat Australia di sebelah Selatan, yaitu Selandia Baru, dengan tegas menolak AUKUS. Alasan utamanya adalah pakta pertahanan itu memberi kapal selam nuklir yang bertentangan dengan pendirian Selandia Baru untuk mematuhi prinsip Non-Proliferation Treaty (NPT). Prinsip NPT ini dipegang oleh hampir semua negara di kawasan ini.

Tetangga terdekat Australia lainnya adalah Indonesia. Indonesia tidak secara langsung menolak atau menerima AUKUS. Bahkan Indonesia cenderung tidak memberikan komentar tegas mengenai AUKUS, apalagi inisiatif AS di AUKUS. 

Sebelum AUKUS terbentuk, pemerintah Indonesia secara tidak langsung mengajak kehadiran AS untuk menciptakan perdamaian di kawasan Indo-Pasifik. 

Pandangan Indonesia ini hampir sama dengan sebagian besar negara di kawasan ini yang mendukung adanya kekuatan besar lainnya untuk mengimbangi peningkatan militer China di kawasan. 

Negara-negara itu memang tidak seterang benderang Filipina yang menyatakan mendukung AUKUS. Filipina berkepentingan dengan pakta pertahanan ini untuk menghalau kapal-kapal laut China dari wilayah klaim Filipina.

Jaminan Australia

Indonesia lebih fokus mencermati persetujuan Australia dengan pembangunan kapal selam bertenaga nuklir melalui skema AUKUS. Indonesia patut khawatir dengan Australia yang dipersenjatai kapal selam nuklir oleh AUKUS. 

Apalagi Australia berpotensi memiliki superioritas regional, sehingga kekawatiran Indonesia menjadi sangat beralasan.

Walaupun Jakarta dan Canberra memiliki hubungan baik dalam beberapa tahun terakhir, sejarah kelam di antara kedua negara ini tidak bisa diabaikan begitu saja. 

Bagi Indonesia, Australia pernah secara terbuka melakukan konfrontasi terbuka dan menciptakan ancaman bagi kedaulatan Indonesia. Australia mencampuri urusan domestik Indonesia berkaitan dengan Timor Leste dan Papua.

Dengan sejarah bilateral seperti itu, Indonesia tidak dapat diam begitu saja melihat perkembangan Australia yang hendak membangun kapal selam nuklir. Kapal selam nuklir Australia ini sangat potensial membahayakan kedaulatan teritorial Indonesia.

Entah pihak mana yang membatalkan, PM Morrison tidak jadi berkunjung ke Jakarta. Namun PM Australia itu memerlukan untuk berbicara langsung dengan Presiden Jokowi melalui sambungan telepon. 

Tidak terlalu jelas bagaimana pembicaraan kedua pemimpin negara lewat telepon itu dapat mengubah atau tidak sikap atau posisi masing-masing negara terhadap AUKUS.

Kabar yang beredar adalah bahwa Australia tetap berjanji untuk berkomitmen pada NPT, walau hingga kini belum menandatanganinya. Janji Canberra secara kongkrit diwujudkan pada upaya untuk tidak mengembangkan tenaga nuklir itu untuk mempersenjatai kapal selamnya. 

Pernyataan itu diulang juga oleh para petinggi Australia, termasuk Duta Besar (Dubes) Australia untuk Association of South East Asian Nations (ASEAN), Will Nankervis. 

Dalam klarifikasinya, Nankervis menjelaskan bahwa kapal selam nuklirnya tidak membawa senjata nuklir. Sebagai partner terlama di ASEAN, Australia tetap menghormati sentralitas ASEAN di Indo-Pasifik walau Australia bergabung dengan AUKUS. 

Yang menarik adalah negeri Kangguru itu adalah penandatangan South Pacific Nuclear Free Zone Treaty atau Kesepakatan Rarotonga, sehingga Australia diharapkan dapat memahami suara kritis dari negara-negara Asia Tenggara yang menandatangani Southeast Asia Nuclear-Weapons-Free Zone Treaty (SEANWFZ).

Strategi offensive balancing memang menguntungkan Australia dalam mengimbangi kekuatan regional China. 

Namun demikian, kenyataan bahwa Australia menyepakati AUKUS menunjukkan secara jelas bahwa Australia telah melanggar komitmennya terhadap berbagai kesepakatan NPT itu dan menjadi ancaman keamanan bagi negara-negara di sekitarnya.

Sumber: 1.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun