Benar bahwa bingung adalah tanda berpikir. Bingung itu ibaratnya kondisi seseorang yang sedang berpikir. Bagi seorang penulis, bingung tidak membuatnya hanya sesang berpikir tentang materi, tetapi juga bagaimana menuliskannya. Â
Dalam kebingungan itu, seorang penulis itu seolah-olah sedang menaiki kapal yang terobang ambing gelombang laut tinggi dan ganas.
Meski demikian, banyak pandangan menyatakan bingung adalah salah satu penyebab bagi penulis atau writer's block. Bingung seolah membuat seorang penulis tidak bisa mengeluarkan ide atau gagasan ke dalam tulisan.
Saya pribadi tidak terlalu memikirkan kondisi bingung menulis. Pada saat kondisi bingung seperti sekarang, saya justru ingin menempatkan bingung itu sebagai titik awal atau point of departure untuk menulis.
Apakah semudah itu? Tentu saja tidak selalu begitu. Yang penting, kepala tidak pusing. Pun tidak menjadi masalah kalau yang pusing itu kantong:)
Lalu, apa yang perlu dilakukan agar bingung itu menjadi titik awal (starting point) buat menulis?
1. Mencoba fokus
Kemampuan berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran itu sangat penting. Dengan fokus, maka pikiran dapat terhindar dari rasa kalut. Kalut karena dikejar deadline permintaan opini dari sebuah koran. Kalut juga terjadi karena terlalu banyak pikiran, sehingga bingung mau menulis apa atau yang mana.
Rasa kalut bisa juga muncul karena dikejar-kejar komitmen menulis 'satu artikel, satu hari di Kompasiana'. Ketika artikel diupload, ternyata admin ingin 'kenalan' dengan artikel itu. Kalut itu pun bisa menjadi-jadi, khususnya bagi yang belum berpengalaman mendapat 'sapaan'Â itu:)
Dalam situasi ini, seorang penulis sebenarnya mempunyai banyak atau berlebihan informasi alias information surplus. Dalam rasa bingung dan kalut itu karena surplus informasi itu, satu-satunya cara agar tetap mampu menulis adalah tetap berkonsentrasi menulis. Kemampuan untuk tetap menulis harus diupayakan tetap ada, walaupun sedang bingung gegara surplus informasi.
2. Tidak mengalami defisit informasi
Kebingungan juga dapat terjadi karena information atau data deficit. Seorang penulis harus menghindari situasi defisit informasi atau data. Sesuatu yang aneh ketika seorang penulis bingung tidak bisa menulis karena tidak memiliki informasi cukup atau data deficit. Boleh bingung, namun seorang penulis harus memiliki informasi mengenai sesuatu hal.
Kecukupan informasi itu menjadi modal dasar bagi sebuah tulisan. Beberapa penulis mungkin menghadapi defisit data mengenai topik-topik pilihan di Kompasiana. Bagi penulis-penulis spesialis, berbagai topik pilihan itu tidak menggoda mereka keluar dari keahliannya pada isu-isu tertentu.Â
Para spesialis ini tidak mencoba menjadi penulis generalis. Masing-masing penulis itu tampaknya memiliki kelebihan dan kekurangannya. Ini bukan persoalan baik atau buruk menjadi penulis spesialis atau generalis.Â
Masing-masing jenis penulis itu memiliki persoalan yang sama, yaitu defisit data atau informasi. Masing-masing juga memiliki cara berbeda untuk keluar dari masalah defisit data.Â
3. Variasi cara menulis atau bentuk tulisan
Cara ketiga ini sangat menarik dilakukan agar penulis bisa tetap merawat kemampuan menulisnya, walau bingung. Sudut pandang atau pendekatan atau teori, isi, dan konteks yang berbeda biasanya menambah gairah untuk menulis dalam bentuk lain.
Bagi penulis, kemampuan menulis berbeda itu bisa didorong oleh tulisan yang dibaca sebelumnya. Jika tulisan awal mengambil sudut pandang tertentu, maka penulis itu dapat membawakan perspektif atau cara berbeda.
Membaca banyak tulisan dari berbagai penulis lain biasanya dapat menjadi modal menemukan variasi cara menuliskan sesuatu. Perlu dimengerti bahwa membaca sekarang tidak selalu dengan cara konvensional. Cara itu terpaku pada membuka buku, majalah, dan sebagainya yang berbentuk cetak atau elektronik.
Perkembangan sekarang juga memperlihatkan bahwa berbagai buku sekarang berbentuk audio, jadi kita mendengarkan buku. Itulah kemajuan jalan.
Nah, buku atau bacaan memiliki banyak bentuk demi menarik pembaca atau pembeli. Demikian juga cara penulis yang sedang bingung. Mencari cara menulis sesuatu secara berbeda agar tetap menarik bisa menjadi solusi, walaupun bingung.
Ketiga cara itu sebenarnya bukan cara baru, tetapi sudah ada sejak lama. Namun demikian, banyak yang tidak menyadarinya. Begitu pula tulisan ini tidak berasumsi bahwa tulisan semacam ini belum ada sebelumnya.
Namun demikian, saya menuliskan ketiga cara itu sebagai solusi atas kebingungan saya. Bingung mau menulis apa setelah dua hari kemarin terkena terasa mandeg.Â
Selama dua hari itu saya merasa tidak bisa menulis, padahal saya masih mempunyai surplus informasi. Salah satunya isu tentang pakta pertahanan segitiga di antara Amerika Serikat, Inggris dan Australia, yang disebut AUKUS. Isu lain soal Taliban di Afghanistan juga masih menyisakan informasi tertentu yang belum menjadi tulisan.
Akhirnya, tulisan ini menjadi bukti bahwa saya bisa mendapatkan solusi dari kebingungan saya. Benar kata bu Tejo bahwa "jadi orang itu harus solutif." Tulisan ini pun tak terasa sudah melampui 700 kata.
Kebetulan, beberapa hari ini ada banyak tulisan mengenai menulis. Ada bahasan umum, ada juga yang berkaitan dengan menulis di Kompasiana. Beberapa tulisan lancar jaya mengunggah tulisan langsung terpublikasi di blog bersama ini. Satu dua tulisan lain membahas soal 'salam tempel' dari admin Kompasiana.
Semoga tulisan ini juga lancar terunggah. Proses itu menjadi ujung terakhir dari proses bingung agar tetap dapat membuat tulisan ini.Â
Terimakasih telah membaca cara saya meng-udar roso dari kebingungan ini dengan bisa tetap menulis dan menjadi sebuah tulisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H