Pertanyaan lain yang semacam itu bisa lebih menggugah keingintahuan mahasiswa, seperti: Hubungan Internasional (HI) itu binatang apa? Mahasiswa di kelas biasanya tersenyum simpul atau, malah, terkekeh, mendengar tambahan kata 'binatang' itu. Suasana kelas pun menjadi agak santai.
Lalu, pertanyaan-pertanyaan lain bisa dimunculkan. Apa saja yang dipelajari dalam studi HI? Mengapa kita perlu mempelajarinya? Untuk apa kita belajar HI?
Itu semua adalah beberapa pertanyaan standar pada perkuliahan pertama untuk matakuliah Pengantar Ilmu HI (PIHI). Pertanyaan-pertanyaan itu dapat juga dimodifikasi untuk perkuliahan-perkuliahan awal di matakuliah lain di jurusan (Ilmu) HI di Indonesia.
Dengan jumlah lebih dari 80an perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki jurusan HI, maka jurusan atau program studi (prodi) ini menjadi cukup seksi menjadi daya tarik dalam mendulang mahasiswa baru.
Kembali ke empat pertanyaan tadi, kesepakatan diperlukan sebelum lebih jauh membicarakan HI. Ketika bicara ilmu atau studi, maka HI ditulis dengan huruf besar semua.Â
Sebaliknya, penulisan HI cukup dengan huruf kecil, jika pembicaraan mengenai berbagai peristiwa dalam hubungan antar-negara atau aktor-aktor non-negara atau fenomena hubungan internasional lainnya.
HI Klasik
Hubungan Internasional klasik atau tradisional biasanya hanya melibatkan aktor-aktor negara saja. Sistem internasional hanya melihat aktor negara sebagai satu-satunya aktor. Kekuatan global diperebutkan oleh aktor-aktor negara saja.
Sementara itu, aktor-aktor non-negara tidak terlalu berperan dalam menentukan struktur internasional. Dominasi sumber-sumber kekuasaan di tangan negara menyebabkan aktor non-negara tidak diperhitungkan.
Peran aktor negara yang dominan itu menemukan wujud nyata-nya di masa Perang Dingin (PD). Pertarungan kekuatan dan kekuasaan global terjadi di antara AS dan US dengan sekutu masing-masing. Hampir semua negara di dunia harus menyatakan pemihakannya dan memilih salah satu dari kedua kekuatan global yang bertentangan itu. Akibatnya, dunia terbelah ke dalam bipolaritas.
AS dan US berperan sebagai negara hegemon (hegemonic state), yaitu negara yang memberikan payung keamanan dan dukungan ekonomi kepada negara yang memihaknya. Dengan cara itu, negara hegemon meluaskan lingkungan pengaruhnya. Kondisi seperti itu menciptakan stabilitas hegemonik (hegemonic stability) bagi tatanan dunia pada saat itu.
Namun demikian, bipolaritas global itu ternyata juga berpotensi menimbulkan anarki internasional. Anarki itu disebabkan oleh keinginan setiap negara untuk merasa aman dari negara-negara lain. Setiap negara menganggap negara lain sebagai musuh potensial.
Demi mengurangi potensi anarki itu, setiap negara berusaha meningkatkan jumlah dan kecanggihan persenjataannya. Muncullah istilah populer, yaitu: jika ingin berdamai, maka bersiaplah untuk berperang. Melalui keberpihakan kepada AS dan US, kedua negara itu sebagai negara hegemonik dapat menjamin keamanan global bagi negara-negara sekutu masing-masing.
Singkat kata, hancurnya Tembok Berlin dan bubarnya US menjadi titik awal bagi berakhirnya PD selama hampir 5 dekade. Dunia tidak lagi bipolar atau terbagi menjadi dua kutub yang berlawanan. Uni Soviet terpecah belah menjadi beberapa negara. Rusia menjadi pewaris tunggal US, namun tidak memiliki kekuatan global seperti US.Â
Selanjutnya, dunia paska-PD berada dalam tarik-menarik dinamis di antara unipolaritas dan multipolaritas. Selain itu, dunia juga menyaksikan meningkatnya kekuatan China. Unipolaritas AS diimbangi dengan hadirnya Rusia dan China sebagai kekuatan besar global.
Ada saat ketika dunia didominasi oleh satu kekuatan global, yaitu AS. Ada juga masa di mana dunia memiliki banyak pusat-pusat kekuatan global.
HI Kontemporer
Dinamika unipolaritas dan multipolaritas kekuatan global itu sangat mewarnai perkembangan HI pada paska-PD hingga pandemi Covid-19 pada saat ini. Segera setelah US bubar, dunia hanya mendapati AS sebagai satu-satunya kekuatan global.Â
Ketegangan internasional berkurang dengan beralihnya perhatian dari isu-isu politik ke ekonomi. Agenda ekonomi yang selama PD dipandang tidak penting atau low politics berubah menjadi agenda utama pertemuan di antara kepala negara/pemerintahan. Isu-isu ekonomi, sosial, dan budaya menjadi semakin penting sebagai high politics sebagai agenda global.
Isu-isu geo-ekonomi menjadi setara dengan geo-politik. Bersamaan dengan perkembangan itu, negara tidak lagi menjadi satu-satunya aktor dalam hubungan internasional. Arti penting isu-isu ekonomi menempatkan aktor-aktor ekonomi menjadi menarik perhatian para ahli HI. Bursa efek global di Tokyo, New York, London menjadi aktor baru yang menentukan perkembangan politik, dan sebaliknya.
Modal atau capital tidak semata isu ekonomi, namun memiliki pengaruh politik. Keluarnya modal asing dalam jumlah besar dari sebuah negara menjadi isu strategis baru bagi pengambil kebijakan di berbagai negara. Kenyataan pada saat itu menunjukkan bahwa pergerakan kapital merupakan akibat dari situasi ekonomi-politik di sebuah negara.
Konon, perilaku George Soros (seorang pialang internasional) yang mengambil untung dari investasinya di Indonesia di tahun 1998 dianggap sebagai penyebab krisis ekonomi. Begitu pula sebaliknya ketika Soros masuk kembali ke Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Investasi Soros melalui seorang konglomerat dianggap sebagai faktor penanda kepercayaan investor asing terhadap pemulihan ekonomi negeri ini.
Sebelum itu, HI telah mengenal peranan penting perusahaan multi atau transnasional (multinational/transnational companies atau MNCs/TNCs) terhadap sebuah negara. Berbagai negara berusaha kuat menarik Investasi asing dari berbagai MNCs/TNCs. Sebaliknya, MNCs/TNCs memperhitungkan resiko politik di home country yang akan menjadi tempat berinvestasi. Akibatnya, banyak negara berupaya membangun stabilitas politiknya demi mendatangkan investor asing.
Munculnya berbagai aktor lain, seperti kelompok kepentingan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan, bahkan kelompok teroris memberikan pengaruhel mendasar pada perkembangan HI.Â
Perubahan global itu menuntut hubungan di antara aktor-aktor tidak lagi winners take all, seperti di masa Perang Dingin. Paska-PD, berbagai aktor itu harus bekerja sama dan berkompetisi pada saat yang sama.Â
Mereka mau tidak mau harus memaksimalkan keuntungan dari tatanan global, yaitu win-win solution. Berbagai inisiatif kerjasama ekonomi muncul di tingkat bilateral, sub-regional, regional, dan internasional. Ada Indonesia-Malaysia Growth Triangle (IMGT), ASEAN, APEC, RCEP, dan seterusnya.
Globalisasi menjadikan HI mencari semakin cair dengan mengakui peranan individu di jaringan internet. Kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi mendorong berbagai negara memiliki websites dan berbagai akun media sosial. Kepemilikan akun itu seakan mengindikasikan kehadiran negara dan berbagai aktor internasional di jaringan internet (cyberspace).
Perkembangan HI itu menunjukkan bahwa perubahan jaman berimbas pada semakin banyak jumlah dan jenis aktor. Tantangan bagi konflik dan kerjasama tidak lagi hanya berasal dari negara, namun melibatkan aktor-aktor non-negara. Demikian juga, pola-pola hubungan antar-aktor tidak semata menang sendiri, namun saling menguntungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H