Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Studi HI: Tiga Pilihan Topik Menarik dari Menangnya Greysia-Apriyani di Olimpiade 2020

2 Agustus 2021   21:58 Diperbarui: 3 Agustus 2021   00:56 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Greysia/Apriani. Sumber: Kompas

Seperti telah diduga, begitu pasangan ganda putri Indonesia menang, segera bertumpah-ruah tulisan tentang mereka. Ada banyak sudut pandang dari tulisan-tulisan tentang kemenangan Greysia Polii-Apriyani Rahayu merebut medali emas di Olimpiade Tokyo 2020 ini.

Banyak tulisan menarik tentang kemenangan mereka. Tentu saja, perhelatan oleh raga sekelas Olimpiade juga perlu mendapat perhatian. Lebih menarik lagi, topik-topik itu ditulis dari perspektif (Hubungan) Internasional atau HI. Ada beberapa topik menarik.

Pertama, sejauh mana Indonesia menempatkan Olimpiade sebagai sarana diplomasi di tingkat dunia? Di sini, pertanyaan itu bisa ditambah dengan pertanyaan-pertanyaan, seperti: Apakah Indonesia sekedar ikut di Olimpiade sebagai bagian dari 130 lebih negara anggota PBB? 

Atau ada nilai tertentu yang mau diraih Indonesia di pertandingan olah raga setingkat Olimpiade? Pertanyaan terakhir bisa dikaitkan dengan perolehan berbagai medali (termasuk emasnya Greysia-Apriyani) hingga hari ini.

Studi HI telah mengakui manfaat olah raga sebagai alat diplomasi publik. Tujuan utama diplomasi publik adalah memenangkan hati dan pikiran (winning hearts and minds). 

Penggunaan olah raga mau tidak mau sangat terkait dengan politik, misalnya untuk membangun semangat nasionalisme atau sebagai bentuk kegigihan umat manusia melawan pandemi Covid-19 pada saat ini.

Selain itu, olah raga juga bermanfaat untuk mendorong perdamaian. Para pemimpin dunia telah menggunakan olah raga sebagai alat diplomasi. Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, misalnya, telah menggunakan Piala Dunia Rugbi (1995) untuk menyatukan warga kulit hitam dan kulit putih. 

Presiden AS Richard Nixon dan pemimpin RRT Mao Zedong menggunakan olahraga pingpong untuk mengurangi ketegangan hubungan kedua negara. 

Olimpiade musim dingin di Korea Selatan (2018) bahkan dimanfaatkan untuk membangun perdamaian dengan Korea Utara, walaupun perdamaian itu hanya berlangsung selama 17 hari.

Kedua, sejauh mana bulutangkis menjadi soft power bagi diplomasi Indonesia dengan negara-negara lain? 

Pertanyaan ini berkaitan dengan masa emas bulu tangkis Indonesia, yaitu pada periode selalu atau sering menang di berbagai turnamen internasional. 

Salah satu konsekuensinya adalah Indonesia lebih banyak dikenal melalui olah raga badminton ini. Bahkan beberapa pemain Indonesia (yang sudah pensiun) menjadi pelatih di berbagai negara. Kalau tidak salah, satu-dua pemain pindah ke negara lain untuk mewakili negara itu di berbagai event bulutangkis.

Keberadaan mereka sering mempermudah upaya diplomasi Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di berbagai negara. Agenda tahunan KBRI (misalnya 17 Agustusan) juga diisi dengan pertandingan olah raga memperebutkan piala/hadiah dari Duta Besar Indonesia.

Ketiga, sejauh mana pemerintah Indonesia akan menempatkan pasangan juara Greysia-Apriyani dan juara medali lain sebagai bagian diplomasi Indonesia? 

Perkembangan baru dari diplomasi publik menunjukkan bahwa diplomasi tidak hanya diarahkan atau berorientasi ke luar atau kepada masyarakat negara lain. 

Selain itu, diplomasi publik kontemporer juga berorientasi ke dalam. Apalagi di bulan Agustus ini, kemenangan Greysia-Apriyani sungguh tepat untuk membangun nasionalisme di antara masyarakat Indonesia.

Namun demikian, upaya itu sangat berbeda dengan nafsu politik dari para politisi. Ucapan selamat dari para politisi sambil memampangkan foto mereka bersama itu tak lebih dari politisasi terhadap pasangan emas itu.

Kembali ke semangat nasionalisme. Greysia-Apriyani bisa diminta menjadi lambang nasionalisme kita melawan pandemi Covid-19. 

Memang terasa aneh. Kok melawan pandemi? Biasanya kan melawan musuh yang kelihatan wujudnya? 

Di sini, pandemi ditempatkan sebagai musuh luar biasa (extra-ordinary) yang perlu dilawan dengan cara luar biasa pula, yaitu semangat nasionalisme itu. Pandemi adalah musuh tanpa wujud (bukan organisasi tanpa bentuk/OTB di masa lalu). 

Pandemi juga musuh bersama. Anehnya, kita masih terpecah menjadi pro dan kontra pandemi/vaksin. Semangat bersatu itu perlu menjadi wujud bersama dari nasionalisme kemenangan Greysia-Apriyani.

Ketiga topik itu dapat menjadi pilihan menarik dari kemenangan pasangan ganda putri Indonesia. Pilihan-pilihan topik lain tentu saja masih berjibun, apalagi yang berasal dari luar studi HI.

Semoga kemenangan mereka bisa menyemangati kita untuk bersatu melawan pandemi Covid-19.

Selamat kepada Greysia-Apriyani!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun