Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Anak Zaman Now Malah Minta Dijodohkan?

22 Mei 2021   13:50 Diperbarui: 23 Mei 2021   18:11 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcQlkgJq2MCxkvsbWcQ7XkXUYjd6WHEY4y3Qzg&usqp=CAU

Jodoh itu di tangan Tuhan. Begitulah kata-kata bijak yang ada selama ini. Tidak ada yang membantahnya. Walau demikian, dalam praktek kehidupan manusia, jodoh itu ternyata berada di tangan orang tua (ortu):)

Salah satu isu menarik di sekitar perjodohan adalah permintaan anak agar dijodohkan oleh ortu-nya. Ini bukan ortu-nya yang sudah mempersiapkan jodoh dan 'menyodorkannya' kepada sang anak, namun sebaliknya! Si anak yang meminta jodoh atau dijodohkan.


Mungkinkah situasi ini terjadi? Mungkin saja bisa terjadi. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Semua serba mungkin, walau kasusnya sedikit. Saya sendiri tidak memiliki pengalaman dalam hal ini. Begitu juga dengan orang-orang di sekitar saya.

Meski demikian, sudut pandang ini menarik untuk ditelusuri. Apalagi tampaknya belum ada Kompasianer yang menulis dari sisi si anak. Dari sudut pandang si anak yang terpaksa berada di situasi ini. Akhirnya, satu-satunya jalan keluar bagi si anak adalah meminta jodoh ke atau dijodohkan oleh ortu.

Selanjutnya, ada beberapa pertanyaan menarik yang bisa dimunculkan di sini. Misalnya: mengapa justru sang anak yang meminta jodoh ke atau dijodohkan oleh orang tuanya? Apakah sang anak tidak bergaul atau tidak memiliki teman, sehingga harus meminta bantuan orang tua untuk mencarikan jodoh? Apa penyebab si anak mengambil tindakan seperti itu?

Mari kita menelusuri beberapa kemungkinan penyebabnya. Dengan cara itu, kita berharap bisa juga menjawab pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Pertama, pandemi yang berkepanjangan.
Semua orang di usia berapa pun mengalami akibat dari pandemi. Pada awalnya, konsekuensi pandemi memang tidak dirasakan secara serius. Namun demikian, memasuki tahun kedua ini kita dihadapkan pada pandemi yang berkepanjangan. Entah kapan pandemi akan berakhir. Jangan-jangan titik akhir dari pandemi semakin tidak jelas.

Akibat kongkritnya adalah rutinitas kehidupan sosial manusia berubah. Pertemuan virtual jarak jauh dengan penerapan protokol kesehatan (prokes) menjadi praktek atau kebiasaan umum. Sedangkan pertemuan fisik secara langsung mulai dihindari, kecuali disertai ijin dan prokes ketat. Kenyataan itu berpengaruh pada semakin kecilnya arena atau peluang perjodohan di antara para muda-mudi di masa pandemi ini.

Kedua, berkurangnya interaksi langsung dengan teman sebaya.
Akibat langsung dari pandemi adalah interaksi dengan teman berkurang, baik dalam pengertian kuantitas maupun kualitas. Walaupun tempat-tempat publik sudah dibuka, namun prokes membuat interaksi menjadi tidak senyaman sebelum masa pandemi.

Akibatnya pertemanan bersifat tetap, tanpa kemungkinan pertemanan baru. Kalaupun ada peluang itu, interaksi virtual menjadi lebih banyak dilakukan. Dengan cara itu, pengenalan antar-pribadi harus disesuaikan dengan situasi virtual.

Ketiga, semakin banyaknya aktivitas dilakukan secara virtual atau jarak jauh. Kegiatan publik tidak dapat diadakan secara leluasa. Prokes selalu menjadi standar umum yang harus diberlakukan bagi berbagai macam kegiatan. Pembatasan jumlah peserta, lamanya waktu, dan pemberlakuan prosedur lain menjadi 'hambatan' bagi interaksi sosial.

Selanjutnya, berbagai pertemuan virtual jarak jauh dengan penerapan protokol kesehatan (prokes) menjadi praktek atau kebiasaan umum. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) menjadi standar umum. Sedangkan pertemuan fisik secara langsung mulai dihindari, kecuali disertai ijin dan prokes ketat.

Ketiga penyebab itu memaksa si anak hanya berkutat pada dirinya sendiri. Ruang-ruang sosial bagi perjodohan di antara muda-mudi menjadi berkurang. Interaksi antar-pribadi lebih jauh hanya berlangsubg di antara teman-teman kuliah atau sekolah atau rekan kerja saja. Berkurangnya interaksi sosial ini menyebabkan ruang perjodohan menjadi makin menyempit.

Virtualisasi berbagai aktivitas membuat peluang-peluang pertemanan baru menjadi sesuatu yang harus diupayakan. Padahal pertemanan baru biasanya menjadi ruang persemaian bagi perjodohan di antara muda-mudi.

Apakah kondisi seperti ini mulai terjadi di sekitar anda? Coba cek pergaulan anak anda dengan teman-temannya. Apakah sang anak masih beraktifitas di luar rumah, walau terbatas dan menerapkan prokes ketat?

Saya tidak berangan-angan bahwa situasi mengenai anak meminta jodoh atau dijodohkan itu bakal terjadi begitu saja. Apalagi jika ketiga penyebab itu ada di sekitar kita. Hubungan sebab-akibatnya tidaklah sesederhana itu. Masih ada banyak faktor lain yang tentu saja membuat si anak merengek jodoh ke ortunya.

Namun demikian ketiga faktor penyebab itu bisa saja telah ada di sekitar kita. Kalaupun ada, apakah ortu perlu mempersiapkan diri hingga tiba waktunya si anak menyampaikan keinginannya dicarikan jodoh? Sekali lagi, situasinya tidak sesederhana itu. Yang paling penting adalah ortu harus siap membantu sang anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun