Dalam konteks sosial-budaya tertentu, keterlambatan dalam menikah bakal menimbulkan persoalan. Masalahnya adalah bahwa persoalan itu tidak semata pribadi dari pemilik usia 25 tahun itu, namun juga berpotensi menjadi persoalan keluarga.Â
3. Studi lanjut
Berbeda dengan zaman dulu, generasi muda sekarang memiliki peluang tambahan, yaitu studi lanjut. Peluang studi lanjut ini sebenarnya juga sudah ada pada zaman dulu.
Buktinya, ada banyak orang yang studi lanjut di berbagai kampus di luar negeri. Di awal-awal kemerdekaan, banyak orang Indonesia belajar di Belanda sebagai bagian dari kolonialisme Belanda.Â
Lalu, di masa Presiden Sukarno, para pemuda Indonesia melanjutkan studi ke Uni Soviet dan negara-negara satelitnya di Eropa Timur.Â
Di masa Orde Baru, studi lanjut dari generasi muda Indonesia diarahkan ke Amerika Serikat, dan seterusnya.Â
Kini, orang Indonesia telah tersebar ke berbagai negara untuk melanjutkan studi. Peluang ke berbagai negara tujuan studi lanjut dan ragam beasiswa semakin banyak dan variatif.Â
Akibatnya, semakin banyak pula pemilik usia 25 tahun itu lebih memilih studi lanjut terlebih dahulu ketimbang menikah dan bekerja. Posisi sosial dari studi lanjut pun bisa dianggap setara dengan bekerja dan menikah.
Lalu, sebaliknya yang mana yang dilakukan terlebih dahulu oleh seorang yang berusia 25 tahun?Â
Prioritas dalam memilih itu diperlukan untuk meringankan quarter life crisis. Beberapa pertimbangan tampaknya sangat penting untuk dipikirkan sebelum memutuskan salah satu persoalan diselesaikan ketimbang lainnya.Â
Ketiga pilihan ini bisa dijalani dalam jarak waktu yang lama atau pendek. Situasi setiap orang memang berbeda, sehingga pertimbangan waktu ini tidak bisa begitu saja dipakai oleh semua orang.Â
Seorang berusia 25 tahun bisa secara lebih mudah memilih studi lanjut karena mendapat beasiswa. Di saat yang sama, orang itu belum memiliki pacar dan masih menunggu hasil dari lamaran pekerjaan. Bagi orang ini, pekerjaan dan pernikahan bisa dilakukan setelah selesai studi lanjut.