Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bagi Anak-anak Kecil di Kampung, Salam Tempel Itu Kesenangan Belaka

11 Mei 2021   23:42 Diperbarui: 11 Mei 2021   23:50 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Lebaran adalah hari paling penting yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak kecil di kampung saya. Mereka berharap mendapatkan salam tempel dari orang tua mereka, tetangga, dan orang lain di kampung yang sudah bekerja. Selesai sholat Ied di langgar kampung, anak-anak bergegas pulang, makan lontong opor, lalu mengambil posisi siap untuk bersalaman dengan orang tua, dan, yang paling ditunggu, menerima salam tempel. Begitulah sekelumit gambaran keramaian di sebuah rumah di hari Lebaran di kampung di jaman dulu.

Salam tempel yang biasanya berupa pemberian uang dari orang tua kepada anak-anak kecil memang bisa diartikan macam-macam. Banyak orang saling bersilang pendapat mengenai sesuatu hal. Masing-masing pendapat menjelaskan argumennya dan menekankan arti penting pendapatnya itu. 

Setidaknya, ada tiga pendapat umum tentang salam tempel ini. Pertama, banyak yang masih menganggapnya sebagai bentuk tradisi atau kebiasaan yang baik, sehingga masih perlu dipertahankan. Salam tempel itu bentuk kasih sayang orang tua kepada anak-anak kecil yang telah berpuasa selama bulan Ramadhan.

Pendapat kedua menganggap salam tempel tidak perlu diteruskan. Alasannya, salam tempel dianggap mengajarkan budaya materialistik. Salam tempel dikhawatirkan mengajarkan anak-anak bahwa segala sesuatu diukur dengan uang.

Yang ketiga, terakhir, menempatkan salam tempel sebagai perilaku tidak elok atau tidak layak bagi anak-anak kecil. Tradisi salam tempel malah mengajarkan anak-anak menjadi peminta-minta. Salam tempel bahkan dianggap membuat anak-anak enggan bekerja keras.

Meski begitu, tradisi itu tetap berjalan hingga sekarang. Tak ada anak-anak kecil di kampung yang melupakan kebiasaan atau tradisi salam tempel di hari Lebaran. Mereka sangat menantikan salam tempel. Bagi mereka, salam tempel selalu ditunggu. 

Mereka akan mulai beraksi dari rumah mereka sendiri, yaitu dari orang tua masing-masing. Setelah itu, anak-anak kampung itu akan berkumpul di salah satu rumah. 

Lalu, mereka merencanakan rute anjang sana alias kunjungan ke rumah-rumah tetangga di kampung. Mereka melakukan 'pemetaan' terhadap para tetangga yang Muslim yang open house di hari Lebaran. Kadang ada juga warga non-Muslim yang dengan gembira hati membagikan salam tempel juga. Anak-anak kampung itu sudah hapal soal-soal ini.

Biasanya salam tempel berupa uang kertas baru. Entah kapan dan siapa yang memulainya. Beberapa hari sebelum Lebaran, orang tua akan menyempatkan waktu untuk menukar uang mereka dengan berlembar-lembar uang kertas baru.

Sesuai kemampuan ekonomi, setiap keluarga memiliki 'standar' berbeda tentang nilai rupiah dari salam tempel itu. Untuk ukuran sekarang, orang tua bisa membagikan lembaran uang 20 ribuan, 50 ribuan, atau 100 ribuan. 

Tidak ada tujuan lain, kecuali kebahagiaan bersama. Orang tua merasakan kebahagiaan itu karena anak-anak atau cucu-cucu mereka telah berusaha berpuasa selama sebulan. Orang tua ingin menunjukkan tanda cinta mereka itu dalam bentuk salam tempel.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun