Hari Lebaran adalah hari paling penting yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak kecil di kampung saya. Mereka berharap mendapatkan salam tempel dari orang tua mereka, tetangga, dan orang lain di kampung yang sudah bekerja. Selesai sholat Ied di langgar kampung, anak-anak bergegas pulang, makan lontong opor, lalu mengambil posisi siap untuk bersalaman dengan orang tua, dan, yang paling ditunggu, menerima salam tempel. Begitulah sekelumit gambaran keramaian di sebuah rumah di hari Lebaran di kampung di jaman dulu.
Salam tempel yang biasanya berupa pemberian uang dari orang tua kepada anak-anak kecil memang bisa diartikan macam-macam. Banyak orang saling bersilang pendapat mengenai sesuatu hal. Masing-masing pendapat menjelaskan argumennya dan menekankan arti penting pendapatnya itu.Â
Setidaknya, ada tiga pendapat umum tentang salam tempel ini. Pertama, banyak yang masih menganggapnya sebagai bentuk tradisi atau kebiasaan yang baik, sehingga masih perlu dipertahankan. Salam tempel itu bentuk kasih sayang orang tua kepada anak-anak kecil yang telah berpuasa selama bulan Ramadhan.
Pendapat kedua menganggap salam tempel tidak perlu diteruskan. Alasannya, salam tempel dianggap mengajarkan budaya materialistik. Salam tempel dikhawatirkan mengajarkan anak-anak bahwa segala sesuatu diukur dengan uang.
Yang ketiga, terakhir, menempatkan salam tempel sebagai perilaku tidak elok atau tidak layak bagi anak-anak kecil. Tradisi salam tempel malah mengajarkan anak-anak menjadi peminta-minta. Salam tempel bahkan dianggap membuat anak-anak enggan bekerja keras.
Meski begitu, tradisi itu tetap berjalan hingga sekarang. Tak ada anak-anak kecil di kampung yang melupakan kebiasaan atau tradisi salam tempel di hari Lebaran. Mereka sangat menantikan salam tempel. Bagi mereka, salam tempel selalu ditunggu.Â
Mereka akan mulai beraksi dari rumah mereka sendiri, yaitu dari orang tua masing-masing. Setelah itu, anak-anak kampung itu akan berkumpul di salah satu rumah.Â
Lalu, mereka merencanakan rute anjang sana alias kunjungan ke rumah-rumah tetangga di kampung. Mereka melakukan 'pemetaan' terhadap para tetangga yang Muslim yang open house di hari Lebaran. Kadang ada juga warga non-Muslim yang dengan gembira hati membagikan salam tempel juga. Anak-anak kampung itu sudah hapal soal-soal ini.
Biasanya salam tempel berupa uang kertas baru. Entah kapan dan siapa yang memulainya. Beberapa hari sebelum Lebaran, orang tua akan menyempatkan waktu untuk menukar uang mereka dengan berlembar-lembar uang kertas baru.
Sesuai kemampuan ekonomi, setiap keluarga memiliki 'standar' berbeda tentang nilai rupiah dari salam tempel itu. Untuk ukuran sekarang, orang tua bisa membagikan lembaran uang 20 ribuan, 50 ribuan, atau 100 ribuan.Â
Tidak ada tujuan lain, kecuali kebahagiaan bersama. Orang tua merasakan kebahagiaan itu karena anak-anak atau cucu-cucu mereka telah berusaha berpuasa selama sebulan. Orang tua ingin menunjukkan tanda cinta mereka itu dalam bentuk salam tempel.
Dalam alam pikiran mereka (anak-anak kecil itu), salam tempel merupakan bentuk kesenangan atau kebahagiaan belaka. Mereka tidak memikirkan hal-hal lain yang rumit. Meeka juga tidak tahu mengenai ketiga pendapat di awal tulisan ini yang saling bersilangan.Â
Bagi mereka, rasa senang, bahagia, gembira bisa berkumpul dengan teman-teman sekampung, baik yang Muslim maupun non-Muslim, menjadi rutinitas yang harus ada dan dijalani di hari Lebaran.
Mereka tidak akan pernah melupakan salam tempel di hari raya Idul Fitri. Mereka pun tidak berpikir macam-macam soal arti dan akibat dari salam tempel itu. Kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan itu akan diteruskan oleh berbagai generasi hingga sekarang. Lusa adalah hari Lebaran.Â
Anak-anak kecil di kampung saya kabarnya sudah mempersiapkan diri menyambut hari Lebaran dan, tentu saja, salam tempelnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H