Reorientasi
Prestasi SBY menjadi warisan penting bagi politik luar negeri Jokowi, meskipun reorientasi tetap perlu dilakukan. Beberapa langkah reorientasi kebijakan luar negeri meliputi beberapa hal.Â
Pertama, penetapan arah dasar dan target pencapaiannya. Dalam konteks itu, politik luar negeri menjadi salah satu upaya nyata pemerintahan Jokowi untuk mewujudkan program kerjanya.
Menugaskan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) sebagai leading sector dalam mengkoordinasikan pelaksanaannya melalui diplomasi maritim. Salah satu isu menarik di sini adalah konon kurang pahamnya Presiden Jokowi atas masalah-masalah Internasional. Oleh karena itu, penunjukkan Retno Marsudi hingga kini sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) merupakan sebuah bukti kepercayaan.
Kedua, identifikasi negara-negara yang paling berpotensi diajak bekerjasama dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Upaya ini memerlukan kerja keras out of the box dari lingkaran konsentris politik luar negeri Indonesia selama ini.Â
Tiongkok, AS, Singapura, Thailand, Perancis, Belanda, Korea Selatan, dan Rusia adalah beberapa negara dengan sumber daya maritim yang perlu mendapat perhatian. Langkah ini tentu saja dikaitkan dengan peningkatan intensitas kerjasama bilateral di negara-negara itu.
Mulai pemerintahan pertama Jokowi, banyak kebijakan mau tidak mau harus dikaitkan dengan isu-isu maritim. Berbagai kementerian harus menjalankan visi dan misi presiden Jokowi dalam mewujudkan poros maritim dunia itu.
###
Bahasan mengenai kesinambungan dan perubahan di atas tidak dimaksudkan untuk meninjau baik atau buruknya diplomasi sebuah pemerintahan. Tujuannya adalah lebih memberikan perhatian pada fokus yang berbeda pada setiap pemerintahan, khususnya dalam kebijakan luar negeri.
Faktor-faktor tertentu telah menyebabkan diplomasi pemerintahan SBY lebih berorientasi pada kerjasama atau inisiatif Internasional atau multilateral. Sedangkan pemerintahan Jokowi lebih fokus pada diplomasi bilateral atau inward-looking.Â
Di kalangan komunitas hubungan internasional di tanah air, konon, presiden SBY bahkan ditahbiskan sebagai presiden dalam hubungan internasional Indonesia.
Sebuah kenyataan yang tidak dapat dielakkan bahwa masing-masing pemerintahan memiliki kelebihan dan kekurangan. Meskipun demikian, perbedaan itu dapat digunakan sebagai faktor yang saling melengkapi ketimbang saling menghilangkan atau, malah saling nyinyir.
Pada akhirnya, perbedaan orientasi diplomasi tersebut tetap disertai dengan komitmen yang sama, yaitu demi mencapai kepentingan nasional.