Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Diary Diplomasi 4: Gaya Diplomasi Presiden Jokowi

9 Februari 2021   00:47 Diperbarui: 9 Februari 2021   00:51 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSfPqX65PALNQm6YC9MiBeuMY0PDLOrGLeQOw&usqp=CAU

Diplomasi sebuah negara dapat dilihat pada gaya para pemimpinnya ketika berinteraksi dengan pemimpin negara-negara lain. Yang dimaksud 'gaya diplomasi' adalah cara yang dipakai atau perilaku yang biasanya muncul ketika pemimpin sebuah negara menjalankan kebijakan luar negerinya. 

Misalnya, cara berdiplomasi ini bisa merujuk pada kebiasaan Presiden Jokowi untuk melakukan blusukan ketika berada di negara lain. Atau Presiden Jokowi mengajak Perdana Menteri Australia atau Presiden Korea Selatan ke pasar di Jakarta.

Kondisi itu membuat diplomasi sebuah negara mengalami personifikasi atau personalisasi. Kelihatannya terlalu menyederhanakan, namun pandangan itu biasanya berlaku, walaupun tidak selalu bisa dipakai. 

Kita juga bisa menengok diplomasi mantan Presiden AS Donald Trump yang sangat berbeda dengan Presiden baru AS Joe Biden, baik dalam gaya dan kebijakan diplomasinya. Demikian pula dengan gaya-nya Pemimpin China Xi Jinping dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. 

Atau gaya diplomasi Presiden SBY dan Presiden Jokowi yang berbeda sehingga orang-orang di sekelilingnya harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan masing-masing Presiden. Salah satu contohnya adalah ketika kita melihat Presiden Jokowi berpidato dalam sebuah pertemuan internasional dengan menggunakan bahasa Inggris untuk pertama kalinya. 

Lalu, kita membandingkan cara berpidato Presiden Jokowi dengan Preside SBY. Penilaian yang muncul akan sangat berbeda dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing tergantung pada faktor-faktor apa yang dipakai untuk menilainya. Penilaian terhadap pidato kedua Presiden akan sangat berbeda pula ketika faktor-faktor politik dipakai. 

Dua gaya diplomasi itu tentu amat dipengaruhi karakter dan kepribadian masing-masing kepala negara dan hal ini juga dialami setiap negara. Setiap negara memiliki gaya diplomasi yang tidak sama. Gaya-gaya tersebut amat dipengaruhi karakter, budaya, dan politik masing-masing.

Di sisi lain, gaya diplomasi yang khas dari seorang presiden atau perdana menteri disebabkan oleh lingkungan eksternalnya. Persepsi seorang presiden mengenai tata hubungan antar-aktor internasional mempengaruhi cara berdiplomasinya. 

Dalam konteks ini, masa Perang Dingin (PD) dan Paska-PD mempengaruhi cara atau perilaku, termasuk kebijakan, diplomasi pemimpin negara. Pada masa PD, diplomasi sebuah negara lebih banyak dipengaruhi oleh kemampuan negara-negara itu untuk memanfaatkan persaingan bipolar antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (US).

Kedekatan para pemimpin negara dengan pemimpin AS atau US memungkinkannya memperoleh bantuan militer dan ekonomi bagi negara-nya.

Aspek eksternal dan internal itu menentukan perilaku dan cara diplomasi para pemimpin negara, termasuk para Presiden Indonesia. 

Catatan di bawah ini saya ambil dari berita online. Berita itu mengenai cerita mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenai Gaya diplomasi yang berbeda dari para presiden Indonesia.

###
Cara diplomasi ini berbeda-beda untuk para Presiden Indonesia. Pada sebuah acara pemberian penghargaan di Kementerian Luar Negeri (Kemlu, 23/01/2020, Jakarta), Jusuf Kalla (JK) bercerita tentang gaya diplomasi para Presiden Republik Indonesia (RI). 

Menurut mantan Waki Presiden (wapres) itu, Presiden pertama Sukarno memiliki gaya diplomasi yang paling keras.
"Diplomasi kita terus berkembang sesuai dengan spirit pemimpin pada zamannya. Bung Karno menjalankan diplomasi yang keras. Bikin Nonblok.”

Selanjutnya, JK juga bercerita soal gaya diplomasi Presiden Soeharto yang lebih halus dibanding Bung Karno. Indonesia yang tengah mengalami fase revolusioner pembangunan membuat Soeharto lebih kooperatif dalam berdiplomasi.

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan presiden yang paling sering keluar negeri dalam satu tahun. Menurut JK, apa yang dilakukan Gus Dur tetap merupakan bagian dari diplomasi menjaga keutuhan negara. 

Sementara itu, dia JK mengatakan gaya diplomasi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cenderung “ ... kompromi. Karena itu, diplomasi SBY sering menyebutkan seribu sahabat tanpa musuh atau million friends, zero enemy.

Menurut JK, "orang dagang aja bilang seribu teman lebih baik daripada satu musuh, masih ada satu musuh. Tapi beliau tidak mau ada musuh, saya kira ini diplomasi yang paling susah.”

Yang terakhir adalah gaya diplomasi Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Pak Jokowi lebih fokus ke diplomasi ekonomi...," ucap JK.


###

Sebagai tambahan, Presiden Jokowi sering dianggap sebagai pemimpin yang pragmatis. Dengan latar belakang sebagai pengusaha, Jokowi memiliki pola pikir yang berorientasi pada pertimbangan untung-rugi. Baginya, kepentingan nasional sebagai target capaian kebijakan luar negeri harus menguntungkan Indonesia. Lebih jauh, menguntungkan ini tidak hanya dalam pengertian kualitatif dan normatif, namun ekonomis, kuantitatif, dan riil.

Akibatnya, diplomasi Presiden Jokowi cenderung lebih berorientasi ke diplomasi bilateral ketimbang regional atau multilateral. Kecenderungan ini bukan berarti berbagai forum regional/multilateral tidak penting begitu saja, namun tidak menjadi prioritas bagi Jokowi untuk hadir pada forum-forum itu. 

Kepribadian Jokowi itu dipandang sebagai salah satu sebab paling masuk akal dari absennya Presiden Jokowi di Sidang Umum PBB sejak ia menjabat pada 2014.

Dalam situasi pandemi pada saat ini, kedua aspek itu, yaitu internasional dan domestik, menjadi faktor yang juga menentukan diplomasi pemimpin sebuah negara. 

Penerapan protokol kesehatan yang ketat antar-negara telah memaksa hampir semua negara di dunia untuk mengurangi interaksi antar-warganegara. Diplomasi antar-negara tidak lagi dijalankan melalui berbagai forum pertemuan tatap muka secara langsung. 

Pandemi telah menyebabkan hubungan internasional harus menyesuaikan diri agar tetap berfungsi dalam menjembatani komunikasi di antara para diplomat dan pemimpin negara. Akibatnya, diplomasi antar-negara berjalan secara virtual melalui video conferencing. Perubahan ini tentu saja memerlukan karakter dan cara diplomasi yang berbeda daripada sebelum masa pandemi.

Kemampuan diplomasi untuk menyesuaikan diri dengan struktur internasional di masa pandemi ini berperan dalam menentukan keberhasilan sebuah negara dalam bekerjasama dan berkompetisi dengan negara lain.

Dengan kemampuan itu, sebuah negara mampu bekerjasama secara bilateral dan multilateral untuk mengembangkan sistem tanggapan terhadap pandemi, menemukan vaksin, dan penyediaan vaksin bagi warganegaranya.

Gaya diplomasi Jokowi terhadap pemimpin China Xi Jinping telah memungkinkan Indonesia mendapatkan vaksin lebih cepat daripada negara-negara lain sesama anggota ASEAN. Pragmatisme Jokowi dalam penyediaan vaksin di dalam negeri menjadi salah satu bukti dari keberhasilan diplomasi bilateral antara Indonesia dan China.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun