Catatan di bawah ini saya ambil dari berita online. Berita itu mengenai cerita mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengenai Gaya diplomasi yang berbeda dari para presiden Indonesia.
###
Cara diplomasi ini berbeda-beda untuk para Presiden Indonesia. Pada sebuah acara pemberian penghargaan di Kementerian Luar Negeri (Kemlu, 23/01/2020, Jakarta), Jusuf Kalla (JK) bercerita tentang gaya diplomasi para Presiden Republik Indonesia (RI).
Menurut mantan Waki Presiden (wapres) itu, Presiden pertama Sukarno memiliki gaya diplomasi yang paling keras.
"Diplomasi kita terus berkembang sesuai dengan spirit pemimpin pada zamannya. Bung Karno menjalankan diplomasi yang keras. Bikin Nonblok.”
Selanjutnya, JK juga bercerita soal gaya diplomasi Presiden Soeharto yang lebih halus dibanding Bung Karno. Indonesia yang tengah mengalami fase revolusioner pembangunan membuat Soeharto lebih kooperatif dalam berdiplomasi.
Abdurrahman Wahid atau Gus Dur merupakan presiden yang paling sering keluar negeri dalam satu tahun. Menurut JK, apa yang dilakukan Gus Dur tetap merupakan bagian dari diplomasi menjaga keutuhan negara.
Sementara itu, dia JK mengatakan gaya diplomasi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) cenderung “ ... kompromi. Karena itu, diplomasi SBY sering menyebutkan seribu sahabat tanpa musuh atau million friends, zero enemy.
Menurut JK, "orang dagang aja bilang seribu teman lebih baik daripada satu musuh, masih ada satu musuh. Tapi beliau tidak mau ada musuh, saya kira ini diplomasi yang paling susah.”
Yang terakhir adalah gaya diplomasi Presiden Joko Widodo (Jokowi). “Pak Jokowi lebih fokus ke diplomasi ekonomi...," ucap JK.
###
Sebagai tambahan, Presiden Jokowi sering dianggap sebagai pemimpin yang pragmatis. Dengan latar belakang sebagai pengusaha, Jokowi memiliki pola pikir yang berorientasi pada pertimbangan untung-rugi. Baginya, kepentingan nasional sebagai target capaian kebijakan luar negeri harus menguntungkan Indonesia. Lebih jauh, menguntungkan ini tidak hanya dalam pengertian kualitatif dan normatif, namun ekonomis, kuantitatif, dan riil.
Akibatnya, diplomasi Presiden Jokowi cenderung lebih berorientasi ke diplomasi bilateral ketimbang regional atau multilateral. Kecenderungan ini bukan berarti berbagai forum regional/multilateral tidak penting begitu saja, namun tidak menjadi prioritas bagi Jokowi untuk hadir pada forum-forum itu.