Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

AS Menjadi Polisi Dunia, Lagi?

22 Januari 2021   23:04 Diperbarui: 22 Januari 2021   23:08 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Amerika Serikat (AS) sudah memiliki Presiden baru Joe Biden dan Wakil Presiden baru Kamala Harris sejak 20 Januari 2021. Negara superpower itu diyakini akan menjalankan kebijakan luar negeri yang lebih bisa diprediksi ketimbang periode 4 tahun sebelumnya di bawah Presiden Donald Trump. Salah satu prediksi itu adalah keyakinan bahwa AS akan menjadi polisi global lagi.

Memang tidak banyak pesan kebijakan luar negeri yang diungkapkan Biden dalam pidato pelantikannya. Meski begitu, Biden berjanji memperbaiki aliansi dan bekerja sama dengan dunia sebagai mitra yang bisa dipercaya untuk perdamaian dan keamanan. Biden akan kembali memimpin NATO (Pakta Pertahanan Atlantik Utara) dan memulihkan kerjasama multilateral. Janji Biden itu dapat memberikan prediksi mengenai partisipasi global AS sebagai negara superpower atau polisi dunia.

Partisipasi global
Di bawah pemerintahan Biden, berbagai persoalan hak asasi manusia dan persoalan demokrasi di negara lain diyakinai akan kembali menjadi sorotan negeri Paman Sam tersebut. Dia dianggap sebagai seorang globalis dengan konsekuensi berpotensi mencampuri urusan dalam negeri negara lain, seperti urusan HAM.  

Keinginan memulihkan peran sebagai polisi dunia akan mengubah peta geopolitik. AS kembali berpegang pada prinsip kebebasan navigasi (freedom of navigation) dan komitmen keamanan dengan negara-negara di kawasan, baik di Asia, Timur Tengah, Eropa, maupun Afrika.

Di Eropa, kembalinya AS sudah ditunggu-tunggu negara-negara anggota NATO. Tanpa AS, organisasi pertahanan Benua Biru itu seolah kehilangan induknya. Kembalinya AS di NATO seakan mengukuhkan salah satu pilar penting bahwa negara Paman Sam itu merupakan polisi dunia.

Begitu pula di Asia Pasifik, negara-negara sekutu AS (seperti Jepang, Korea Selatan, Australia) menunggu kebijakan ala Pivot Asia atau US Rebalance milik pemerintahan presiden Obama. AS mungkin akan mempertimbangkan kembali peningkatan kapasitas pertahanan dari pangkalan militernya di kawasan ini.

Keperluan itu secara jelas didorong oleh agresivitas pertahanan China di Laut China Selatan (LCS). Meskipun China menyambut baik pelantikan Biden sebagai presiden AS, perilaku China diyakini tidak akan berubah.

Kebijakan Biden tentang kehadiran militer AS di LCS menjadi salah satu perkecualian mendasar. Artinya kebijakan Biden tidak berbeda dari kebijakan Trump. Biden akan meneruskan kebijakan Trump, yaiti mengirimkan kapal induk, berbagai kapal tempur, dan pesawat jet tempur. Bahkan kehadiran militer AS akan didukung negara-negara lain, seperti Inggris, India, Australia, dan bahkan Malaysia.

Sementara itu, pemulihan kehadiran AS di Timur Tengah dihadapkan pada situasi yang lebih sulit ketimbang di kawasan lain. Kebijakan Trump di kawasan ini menyebabkan AS kehilangan posisi strategisnya. Keputusan Trump menarik pasukan AS dari Suriah dan Afghanistan telah mengakhiri posisi AS sebagai polisi dunia. Keputusan itu mengubah peta geopolitik yang lebih menguntungkan Iran, Suriah, dan Rusia.

Semua itu memang masih prediksi, namun kecenderungan ke arah itu kelihatan menguat. Ini tidak hanya disebabkan oleh dorongan internal kebijakan luar negeri AS ala Partai Demokrat. 

Perubahan kepemimpinan di AS mencerminkan pergantian partai politik yang mendominasi pemerintahan. Seperti biasa, kembalinya partai Demokrat di kekuasaan AS diikuti oleh pergantian berbagai kebijakan pemerintahan sebelumnya yang dikuasai partai Republik.

Salah satu sasaran perubahan kebijakan itu adalah mengembalikan posisi AS dalam kepemimpinan global di berbagai bidang. Apalagi pemerintahan Trump telah mendobrak tradisi yang telah berlangsung lama, yaitu tradisi AS sebagai negara terkuat di dunia.

Pandemi Covid-19
Dorongan internal itu kebetulan memperoleh dukungan eksternal. Negara-negara sekutu AS telah menantikan kembalinya partisipasi global AS, termasuk dalam inisiatif global melawan pandemi Covid-19. Negara-negara itu berharap AS kembali hadir di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam menangani pandemi global selama ini. 

AS diharapkan dapat mengambil tindakan yang menguatkan kerja sama dengan PBB, khususnya penguatan WHO. Kerja sama itu dapat dilakukan dalam menghadapi pandemi, pemulihan ekonomi pasca-pandemi, menjaga stabilitas dunia di tengah rivalitas negara-negara besar. 

Kehadiran AS dapat mendorong multilateralisme dan mengurangi kecenderungan unilateralisme yang menghambat negara berkembang dan miskin memulihkan diri dari pandemi Covid-19. Kongkritnya, AS diharapkan menyokong multilateralisme ketimbang nasionalisme vaksin yang berlangsung selama ini, termasuk dalam kebijakan Trump.

Sehari setelah pelantikannya, Biden memulai proses bergabung kembali ke WHO dan menunjuk Anthony Fauci, pakar penyakit infeksi, sebagai delegasi AS di WHO. 

Sejalan dengan kebijakan domestiknya dalam penanganan pandemi, jalan AS memulihkan kepemimpinan globalnya sebagai polisi dunia tampaknya akan dilakukan melalui dukungannya terhadap berbagai kerjasama multilateral dalam penanganan pandemi secara global.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun