Menemukan warga negara asing (WNA) di beberapa pusat kota di Indonesia pada saat ini bukanlah sesuatu yang sulit. Malahan setiap tahun sejak 2003 hingga 2019, jumlah WNA di Indonesia bertambah sekitar 60 hingga 67 orang dari berbagai negara.Â
Mereka adalah penerima Beasiswa Seni dan Budaya Indonesia (BSBI) atau Indonesian Arts & Culture Scholarship (IACS) dari Kementrian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia. Melalui BSBI, orang-orang muda WNA berusia 21-30 tahun itu belajar mengenai seni dan budaya Indonesia.
Selama 3 bulan itu, setiap 10-12 dari 60an orang muda itu ditempatkan sanggar-sanggar tari di 5 kota, seperti Padang, Banyuwangi, Denpasar, Makassar, dan Kutai Kartanegara.
Selain itu, 12 orang muda lainnya menimba pengetahuan mengenai berbagai isu kontemporer Indonesia di sebuah kampus di Yogyakarta (2013-2019).Â
Mereka belajar tentang isu ekonomi, demokrasi, multikulturalisme, Islam, termasuk memperdalam Bahasa Indonesia, menari, dan menabuh gamelan. Pembelajaran dilakukan di kelas, kunjungan ke kantor pemerintah atau organisasi masyarakat.
Berbeda dengan WNA lain yang datang ke Indonesia untuk keperluan pribadi, seperti berwisata, para penerima beasiswa ini tiba di Indonesia sebagai peserta program pemerintah Indonesia, melalui Kemlu.Â
Di satu sisi, peserta BSBI adalah tamu yang harus dihormati secara selayaknya. Kemlu dan sanggar/kampus memberikan akomodasi, uang saku, dan lain-lain sebagai bagian dari hak mereka.
Sebaliknya, di sisi lain, mereka adalah peserta program beasiswa yang harus mematuhi peraturan atau ketentuan sebagai syarat beasiswa.Â
Status ini menyebabkan mereka terikat kontrak atau peraturan ketat yang mereka telah ketahui dan setujui selama 3 bulan berada di Indonesia.Â
Jika melanggar, mereka mendapat peringatan. Pelanggaran tertentu dan serius bahkan berujung pada hukuman keras, yaitu langsung dipulangkan di hari pertama kegiatan.
Sebagai salah satu pendamping mereka di kampus, pengalaman menunjukkan bahwa kita bersikap secara proporsional saja sesuai hak dan tanggung jawab masing-masing. Ini mungkin dipermudah dengan situasi bahwa interaksi berlangsung di kampus yang kurang lebih menyerupai suasana di kampus di negara masing-masing.
Pertama, dalam satu minggu pertama mereka harus segera mengenal ke 11 teman lain yang akan tinggal dan belajar bersama. Lalu, mereka juga harus mengenal beberapa orang di tempat tinggal dan kampus, termasuk situasi dan lokasi di tempat mereka tinggal dan belajar.
Ini situasi yang tidak mudah secara psikologis. Respon yang muncul bisa biasa saja mengikuti proses secara santai, tetapi ada juga peserta yang merespon secara emosional. Walaupun mereka adalah tamu, itu tidak berarti respon emosional mereka harus dipenuhi atau dilayani.
Kedua, masalah disiplin waktu. Bukan cuma orang Indonesia yang dikenal suka terlambat atau jam karet. Peserta program ini juga ‘menyesuaikan’ diri kita tinggal di sini.Â
Mereka meminta toleransi atas aturan-aturan yang ada. Misalnya mereka minta diijinkan datang terlambat dari ketentuan program mulai jam 09.00 pagi.Â
Permintaan ini tentu saja tidak bisa dipenuhi dengan alasan-alasan tertentu. Ada kecenderungan jika permintaan ini dipenuhi, mereka akan mencoba melakukan hal sama di aturan main lainnya.
Ketiga, beberapa peserta mencoba memanfaatkan posisi mereka sebagai peserta seolah lebih tinggi daripada pendamping. Apalagi mereka paham betul bahwa bahwa mereka akan menjadi aktor penting dalam diplomasi publik Indonesia di negara mereka.Â
Pada beberapa kasus, jika usaha itu tidak berhasil, peserta akan mencoba melakukannya kepada mahasiswa. Dalam hal ini, kita biasanya meminta mahasiswa untuk bersikap seperlunya saja untuk merespon permintaan peserta.
Tiga pengalaman di atas hanya sebagian saja. Ada kesulitan untuk menuliskannya secara lebih rinci, sehingga deskripsi umum ini diharapkan dapat memberi gambaran memadai.Â
Pada dasarnya situasi di lapangan tidak mudah ketika berkaitan dengan pelaksanaan program dan respon peserta. Ibarat bermain layang-layang, ada saat-saat melonggarkan benang agar layang-layang bisa terbang lebih tinggi, namun ada waktunya benang layangan ditarik karena situasi khusus, misalnya, mengharuskannya.
Selain itu, pengalaman tersebut hanya terjadi pada sebagian kecil peserta dan dalam situasi tertentu saja. Situasi kampus, banyaknya dosen-mahasiswa, dan suasana kota Yogyakarta menjadi pendukung penting bagi peserta untuk menjalani program dengan baik.Â
Apalagi mereka juga berinteraksi langsung dengan warga kampung di sekitar tempat kost.Â
Semua itu dilakukan dengan tetap berorientasi pada upaya membangun suasana yang mendukung peserta tetap dapat mengikuti dan menikmati program kegiatan BSBI dengan lancar dan nyaman.
Melalui program BSBI ini, para pemuda-pemudi WNA itu diharapkan dapat memahami Indonesia secara lebih mendalam, berinteraksi langsung, dan, pada gilirannya, dapat menyampaikan pengetahuan itu dan personal engagement mereka kepada masyarakat di negara masing-masing. Sesuai dengan tujuan program BSBI, mereka diharapkan dapat menjadi teman Indonesia atau friends of Indonesia di negara masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H