Persoalan baru
Perkembangan pesat teknologi informasi dan telekomunikas (TIK) telah memungkinkan diplomat dari seluruh dunia untuk melanjutkan berbagai perundingan. Forum diplomasi multilateral di berbagai forum di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan komunitas internasional juga diselenggarakan secara virtual. Sidang Umum PBB pada September 2020 yang lalu merupakan sidang virtual pertama kalinya bagi organisasi bangsa-bangsa itu. Presiden Joko Widodo dan kepala negara/pemerintahan lainnya tidak perlu menghadiri sidang itu secara langsung, tetapi cukup hadir dan menyampaikan pidato secara virtual.
Yang menarik adalah bahwa diplomasi virtual ternyata telah menimbulkan beberapa masalah dan/atau tantangan baru.
1. Size does not matter. Diplomasi virtual tidak mempersoalkan perbedaan antara jumlah delegasi yang besar atau kecil. Ketika perwakilan dari delegasi yang lebih besar dan lebih kecil telah berkumpul di depan layar televisi atau komputer, mereka menjalankan negosiasi di lingkungan yang sama sekali baru. Lingkungan virtual yang benar-benar baru, berbeda, dan berkembang dengan sangat cepat.
2. masalah zona waktu yang berbeda. Diplomasi virtual menyebabkan berbagai perundingan diadakan dalam zona waktu lokal/setempat yang berbeda. Berbagai delegasi negara tidak bisa lagi menikmati pertemuan diplomatik di tempat dan waktu yang sama, misalnya di markas PBB di New York. Itu semua merupakan 'kemewahan' diplomatik sekarang.
3. kurangnya sistem yang dapat menyediakan interpretasi simultan. Diplomasi ternyata telah menghambat partisipasi komunitas epistemik atau para pakar Yang memiliki kepakaran khusus, seperti interpreter atau translator, akademisi, masyarakat sipil, sektor swasta, dan perwakilan lain yang berbasis di luar jaringan multilateral. Para delegasi tidak bisa lagi menikmati fasilitas, misalnya interpreter dan translator berkualifikasi internasional, hang disediakan PBB atau organisasi internasional lainnya.
4. Delegasi tidak memiliki kemungkinan untuk berkonsultasi dengan para ahli karena periode negosiasi yang singkat. Para delegasi sekarang diminta untuk berpikir sendiri dan memberikan respon langsung terhadap proposal dan agenda pertemuan diplomatik. Sifat virtual sebuah forum diplomatik menyebabkab rapat-rapat telah dikurangi Dan hanya membahas agenda yang jauh lebih diprioritaskan.
5. dilema antara kebutuhan akuntabilitas publik dan kerahasian aktifitas diplomatik. Masalah baru muncul ketika para diplomat harus menjalankan aktivitas virtual itu atas nama negara yang diwakilinya. Dilema ini memunculkan perdebatan berkepanjangan ketika seorang diplomat, misalnya, meng-upload foto-foto sebuah perundingan bilateral di akun media sosial pribadinya (mungkin anda punya jawaban soal ini?).
Menarik untuk memperhatikan bagaimana berbagai masalah ini dicarikan penyelesaiannya, tanpa harus menolak perkembangan diplomasi virtual atau digital ini. Sebaliknya, persoalan itu akan berkembang semakin canggih seiring dengan semakin dalamnya pengaruh TIK terhadap diplomasi. Di sini yang dibutuhkan adalah kemampuan diplomasi dan diplomat untuk menyesuaikan diri —bukan untuk menolak—- dengan perkembangan pesat TIK.
###
Tampaknya saya harus membatalkan rencana menulis praktek diplomasi virtual-nya Indonesia. Hari ini agak repot. Ada banyak dokumen penting harus dibuat dan dikirim ke pihak lain paling lambat hari ini.
Terimakasih sudah berkenan membaca.Â
Salam diplomasi.