Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Diplomasi Virtual, Pandemi, dan Tantangannya

18 Januari 2021   16:07 Diperbarui: 18 Januari 2021   16:12 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary kuliah hari ke-10.

Selamat sore, 

Saya lanjutkan bahasan tentang diplomasi ya, khususnya diplomasi virtual. Pertanyaan sederhana yang muncul: Bagaimana pengaruh pandemi terhadap diplomasi? Apa saja persoalan dan tantangannya? Saya coba membahas perkembangan umum, lalu mengarah ke praktek diplomasi virtual Indonesia. Serba singkat dan melompat-lompat, namun dengan harapan semoga catatan kuliah ini mudah dipahami.


###

Dinamika Diplomasi
Pandemi Covid-19 telah secara jelas mengguncang dan mempercepat perubahan sistem dan praktek diplomasi. Diplomasi yang biasanya ditandai dengan pertemuan antar-delegasi perwakilan negara di sidang atau forum perundingan bilateral, regional, dan multilateral terpaksa mandeg, berhenti. Para diplomat yang biasanya terbang ke sana kemari lintas-negara pun terpaksa grounded. Jangankan seorang diplomat, menteri luar negeri dan, bahkan, presiden atau perdana menteri pun tidak bisa saling bertemu secara langsung di sebuah konperensi tingkat tinggi (KTT) demi menangani pandemi Covid-19.

Para diplomat dipaksa menyesuaikan diri agar diplomasi antar-negara tetap berjalan lancar demi mencari solusi atas berbagai dampak dari pandemi. Salah satu solusinya adalah menjalankan diplomasi melalui jalur virtual atau digital. Bahasa kerennya adalah virtual atau digital diplomacy. 

Pandemi telah memaksa praktek diplomasi dijalankan secara virtual melalui video conference. Aplikasi zoom dan lain-lain digunakan dalam berbagai perundingan antar-negara. Dominasi pemakaian zoom dalam diplomasi memunculkan istilah 'zoom-plomacy'. Berbagai pertemuan bilateral, regional (ASEAN, Uni Eropa), multilateral (WHO, PBB) diadakan secara virtual.

Di ranah akademis, ada perdebatan tentang kedua konsep itu apakah dianggap sama atau beda. Perdebatan juga terkait dengan maknanya. Di diary ini, saya anggap virtual dan digital diplomacy itu sama ya. Kedua konsep akan saya pakai bergantian. Keduanya memiliki arti, yaitu digitalisasi atau virtualisasi sistem dan praktek diplomasi yang sebelumnya offline menjadi online. Ada konversi hampir semua sistem atau praktek diplomasi yang semula bersifat langsung (tatap muka) menjadi tidak langsung (tatap layar).

Akibatnya, para diplomat menghadapi banyak tantangan, meliputi: akses ke teknologi yang memadai, pembentukan kembali protokol komunikasi, dan kemampuan menjalankan diplomasi secara virtual. Penyesuaian ini sebenarnya tidak bermasalah karena para diplomat telah terbiasa melakukannya secara personal. Namun demikian, konversi ini merupakan tantangan baru bagi diplomasi dan diplomatnya.

Selain itu, pandemi Covid-19 ini telah memaksa para diplomat untuk mengaitkan isu-isu kesehatan global dengan politik luar negeri. Kebetulan Indonesia menjadi Ketua forum Global Health and Foreign Policy pada 2020 di bawah koordinasi WHO. 

Dengan pandemi ini, para diplomat dituntut untuk memahami berbagai isu kesehatan yang kemudian dikaitkan dengan upaya-upaya negara merespon pandemi. Pemahaman ini yang mengarahkan pada peran strategis Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dalam mengeluarkan kebijakan berbasis kepentingan nasional, seperti menutup pintu-pintu internasional.

Persoalan baru
Perkembangan pesat teknologi informasi dan telekomunikas (TIK) telah memungkinkan diplomat dari seluruh dunia untuk melanjutkan berbagai perundingan. Forum diplomasi multilateral di berbagai forum di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan komunitas internasional juga diselenggarakan secara virtual. Sidang Umum PBB pada September 2020 yang lalu merupakan sidang virtual pertama kalinya bagi organisasi bangsa-bangsa itu. Presiden Joko Widodo dan kepala negara/pemerintahan lainnya tidak perlu menghadiri sidang itu secara langsung, tetapi cukup hadir dan menyampaikan pidato secara virtual.

Yang menarik adalah bahwa diplomasi virtual ternyata telah menimbulkan beberapa masalah dan/atau tantangan baru.
1. Size does not matter. Diplomasi virtual tidak mempersoalkan perbedaan antara jumlah delegasi yang besar atau kecil. Ketika perwakilan dari delegasi yang lebih besar dan lebih kecil telah berkumpul di depan layar televisi atau komputer, mereka menjalankan negosiasi di lingkungan yang sama sekali baru. Lingkungan virtual yang benar-benar baru, berbeda, dan berkembang dengan sangat cepat.

2. masalah zona waktu yang berbeda. Diplomasi virtual menyebabkan berbagai perundingan diadakan dalam zona waktu lokal/setempat yang berbeda. Berbagai delegasi negara tidak bisa lagi menikmati pertemuan diplomatik di tempat dan waktu yang sama, misalnya di markas PBB di New York. Itu semua merupakan 'kemewahan' diplomatik sekarang.

3. kurangnya sistem yang dapat menyediakan interpretasi simultan. Diplomasi ternyata telah menghambat partisipasi komunitas epistemik atau para pakar Yang memiliki kepakaran khusus, seperti interpreter atau translator, akademisi, masyarakat sipil, sektor swasta, dan perwakilan lain yang berbasis di luar jaringan multilateral. Para delegasi tidak bisa lagi menikmati fasilitas, misalnya interpreter dan translator berkualifikasi internasional, hang disediakan PBB atau organisasi internasional lainnya.

4. Delegasi tidak memiliki kemungkinan untuk berkonsultasi dengan para ahli karena periode negosiasi yang singkat. Para delegasi sekarang diminta untuk berpikir sendiri dan memberikan respon langsung terhadap proposal dan agenda pertemuan diplomatik.  Sifat virtual sebuah forum diplomatik menyebabkab rapat-rapat telah dikurangi Dan hanya membahas agenda yang jauh lebih diprioritaskan.

5. dilema antara kebutuhan akuntabilitas publik dan kerahasian aktifitas diplomatik. Masalah baru muncul ketika para diplomat harus menjalankan aktivitas virtual itu atas nama negara yang diwakilinya. Dilema ini memunculkan perdebatan berkepanjangan ketika seorang diplomat, misalnya, meng-upload foto-foto sebuah perundingan bilateral di akun media sosial pribadinya (mungkin anda punya jawaban soal ini?).


Menarik untuk memperhatikan bagaimana berbagai masalah ini dicarikan penyelesaiannya, tanpa harus menolak perkembangan diplomasi virtual atau digital ini. Sebaliknya, persoalan itu akan berkembang semakin canggih seiring dengan semakin dalamnya pengaruh TIK terhadap diplomasi. Di sini yang dibutuhkan adalah kemampuan diplomasi dan diplomat untuk menyesuaikan diri —bukan untuk menolak—- dengan perkembangan pesat TIK.

###

Tampaknya saya harus membatalkan rencana menulis praktek diplomasi virtual-nya Indonesia. Hari ini agak repot. Ada banyak dokumen penting harus dibuat dan dikirim ke pihak lain paling lambat hari ini.

Terimakasih sudah berkenan membaca. 

Salam diplomasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun