Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pendekatan Realisme dalam Hubungan Internasional: Vaksin Covid-19 dan Negara Kuat

10 Januari 2021   23:49 Diperbarui: 16 Januari 2021   11:50 2148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nasional.okezone.com

Masih 3 jam menuju batas pergantian hari. Badan terasa capai, tapi tak bisa tidur. Lagipula, rasanya tidak tega melewatkan hari ini tanpa menulis diary kuliah di hari kedua.

Diary atau catatan kuliah di hari ke-2 ini masih mengandalkan ide dari topik pilihan Kompasiana. Topik vaksinasi akan dibahas dan dikaitkan dengan konsep-konsep dalam studi atau ilmu Hubungan Internasional (HI).

Baiklah, pertanyaan ini merupakan pemicu untuk menata berbagai informasi sebagai jawabannya. Pertanyaannya: Bagaimana pendekatan realisme menjelaskan pengaruh Covid-19 terhadap dinamika hubungan internasional?

Persebaran global Covid-19 telah melampaui 200 negara di dunia. Jumlah ini melebihi anggota PBB yang tercatat 188 negara. Reaksi paling menonjol tidak pada organisasi internasional seperti PBB atau WHO, namun negara sebagai entitas politik yang memiliki penduduk dan wilayah tertentu. Kedua unsur itu paling tidak menjadi prasyarat utama berdirinya negara hingga saat ini.

Sejak Maret 2020, negara mengambil peran besar dan strategis demi melindungi warga negaranya dari ancaman pandemi Covid-19. Negara menutup pintu perbatasan internasional (lockdown), melarang orang asing memasuki wilayahnya dan warganya ke luar negeri, hingga pengembangan, penemuan vaksin, dan melakukan vaksinasi kepada warganegara-nya sendiri.

Sebelum menjelaskan lebih lanjut kebijakan negara dalam rangka melindungi warganegaranya dari pandemi Covid-19, kita bahas dulu pendekatan realisme secara singkat.

Pendekatan Realisme
Pendekatan ini merupakan salah satu pendekatan mainstream bersama dengan liberalisme dan konstruktivisme dalam Ilmu Hubungan Internasional. Posisi realisme teramat sakral. Selama lebih dari 5 dekade pendekatan ini begitu dominan dalam manfaatnya menjelaskan berbagai fenomena perilaku aktor negara dalam hubungan antar-negara

Pendekatan ini memiliki pandangan, yaitu 1. pesimis terhadap sifat manusia; 2. hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang; 3. lebih mengutamakan keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara; 4. skeptis terhadap kemajuan dalam politik internasional, seperti yang terjadi di dalam politik domestik. 

Bagi realisme, hubungan internasional antar negara merupakan hubungan yang antagonistik dan konfliktual yang disebabkan oleh struktur anarkis dalam sistem internasional. Anarki muncul karena tidak ada kekuasaan yang berlebihan di atas negara lain dan negara memegang kedaulatan mutlak.

Penjelasan itu mengingatkan pada pandangan Thomas Hobbes yang menggambarkan manusia sebagai serigala bagi serigala yang lain. Oleh karena itu, manusia cenderung berkonflik untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri. 

Tindakan negara dapat dikatakan mencerminkan tindakan manusia. Suatu negara harus bersaing dengan negara lain dalam mempertahankan dan meningkatkan kekuatan. Jika diperlukan, negara melakukan penjajahan atas negara lain untuk mendominasi politik internasional.

Sebagai aktor utama, negara menganggap negara lain sebagai musuhnya. Ancaman terhadap negara (state security) dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan nasional (national sovereignty), sehingga negara perlu mengerahkan kekuatan nasional yang dipersenjatai, yaitu militer sebagai alat pertahanan negara (national defense). 

Tujuan negara dalan menjalankan hubungan internasional adalah untuk mencapai kepentingan nasionalnya (national interest). Negara menganggap dunia dalam kondisi anarkis, yaitu kondisi hubungan antar-negara yang berpotensi konflik. Akibatnya, negara harus memastikan kemenangan absolut atas negara lain. Sebuah negara menang, negara lain harus kalah. Istilahnya adalah zero sum game. Tidak ada itu win-win solution dalam realisme. 

Bisa dipahami bahwa negara harus meningkatkan kekuasaan internasional berdasarkan kekuatan keras (hard power), seperti jumlah penduduk, luas wilayah, peningkatan anggaran belanja militer, produksi senjata dan alat tempur yang semakin canggih. Akibatnya adalah negara-negara harus berlomba meningkatkan kemampuan persenjataannya. 

Negara dengan performa seperti itulah yang harus berhadapan dengan pandemi Covid-19 pada saat ini.

Potensi Anarki
Situasi mendekati anarki itulah yang terbayang di hadapan berbagai negara sejak Maret hingga Desember 2020. Semua negara bersiap siaga merumuskan dan mengambil kebijakan demi melindungi kepentingan nasionalnya sendiru, yaitu perlindungan warganegara. 

Pandemi, vaksin, dan tindakan vaksinasi telah menjadi isu kesehatan publik global, seperti wabah sars, mears, dan Ebola. Namun Covid-19 memiliki karakter berbeda. Pembiakan yang eksponensial dan terbawa manusia yang terkontaminasi telah membuatnya tersebar dengan pesat ke berbagai negara. 

Tanpa sadar, berbagai negara bertindak secara sepihak atau unilateral. Urgensi keselamatan penduduk menjadi prioritas utama hampir semua negara di dunia. Pada awwlnya, negara-negara tidak merasa perlu berbicara di forum-forum PBB untuk berkoordinasi secara multilateral. Berbagai negara di kawasan sama juga tidak merasa perlu berkonsultasi dengan organisasi regional, seperti ASEAN di Asia Tenggara atau Uni Eropa di benua Eropa.

Negara-negara bertetangga juga tidak merasa perlu membangun protokol bilateral mengenai mobilitas penduduk di masa-masa awal pandemi Covid-19. Potensi konflik antar-negara tetangga juga mudah muncul. Korea Selatan protes atas perlakuan Jepang yang dianggap tidak etis terhadap warga negaranya. Singapura dan Australia meragukan kemampuan Indonesia menangani Covid-19 terkait alasan jumlah penduduk, luas wilayah, dan kualitas infrastruktur kesehatan.

Peran Negara
Akhirnya kekuatan negara dalam melawan Covid-19 ini ternyata tidak lagi berbasis pada kekuatan keras (hard power)  berbentuk peralatan perang tercanggih, kemajuan teknologi, banyaknya jumlah penduduk, atau kemampuan deteren sebuah negara. Pertimbangan hard power harus ditinggalkan. 

Bahkan sistem politik dan pemerintahan sebuah negara juga tidak lagi relevan bagi kemampuan negara menghadapi Covid-19 ini. Sebuah negara itu demokratis atau otoriter atau bersistem apa pun bukan menjadi penentu keberhasilannya berperang melawan Covid-19.

Negara yang diperlukan untuk melawan Covid-19 ini adalah negara kuat (strong state). Negara kuat ini tidak berkaitan dengan negara demokratis atau, apalagi, otoriter. Negara kuat lebih terkait dengan state capacity (kemampuan negara merumuskan kebijakan) dan state capability (kemampuan menjalankan kebijakan). 

Bagi Indonesia, kecenderungan negara menguat peran dan pengaruhnya tampak pada berbagai kebijakannya. Setelah vaksin gratis, pemerintah menjalankan kebijakan lockdown atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mulai besok 11 hingga 25 Januari 2021. Lalu, rencana vaksinasi secara bertahap kepada tenaga kesehatan (nakes) sebagai prioritas utama.

Kebijakan negara dalam menghadapi Covid-19 juga tampak pada penetapan vaksin yang akan digunakan dalam program vaksinasi gratis. Melalui Kementerian Kesehatan, pemerintah telah menetapkan 6 jenis vaksin Covid-19 yang dapat digunakan untuk pelaksanaan vaksinasi di Indonesia. 

Keenam vaksin itu merupakan produksi dari PT Bio Farma (Indonesia), AstraZeneca (Inggris), Sinopharm (China), Sinovac Biotech Ltd. (China), Pfizer Inc. dan BioNTech (Jerman dan AS), dan Moderna (AS). Penetapan keenam vaksin ini segera menghilangkan kontroversi tentang vaksin hanya dibeli dari Sinovac China saja.

Berbagai kebijakan telah dibuat dan, bahkan sebagian, telah dijalankan. Salah satu tantangan beratnya ada pada pelaksanaan kebijakan. Sosialisasi kebijakan pemerintah kepada masyarakat sering tidak lengkap atau tidak jelas, sehingga mengganggu atau menghambat realisasi program.

Begitulah gambaran mengenai cara pendekatan realisme menjelaskan pandemi Covid-19 melalui peran negara.

Semoga catatan ini mudah dipahami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun