Sebagai aktor utama, negara menganggap negara lain sebagai musuhnya. Ancaman terhadap negara (state security) dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan nasional (national sovereignty), sehingga negara perlu mengerahkan kekuatan nasional yang dipersenjatai, yaitu militer sebagai alat pertahanan negara (national defense).Â
Tujuan negara dalan menjalankan hubungan internasional adalah untuk mencapai kepentingan nasionalnya (national interest). Negara menganggap dunia dalam kondisi anarkis, yaitu kondisi hubungan antar-negara yang berpotensi konflik. Akibatnya, negara harus memastikan kemenangan absolut atas negara lain. Sebuah negara menang, negara lain harus kalah. Istilahnya adalah zero sum game. Tidak ada itu win-win solution dalam realisme.Â
Bisa dipahami bahwa negara harus meningkatkan kekuasaan internasional berdasarkan kekuatan keras (hard power), seperti jumlah penduduk, luas wilayah, peningkatan anggaran belanja militer, produksi senjata dan alat tempur yang semakin canggih. Akibatnya adalah negara-negara harus berlomba meningkatkan kemampuan persenjataannya.Â
Negara dengan performa seperti itulah yang harus berhadapan dengan pandemi Covid-19 pada saat ini.
Potensi Anarki
Situasi mendekati anarki itulah yang terbayang di hadapan berbagai negara sejak Maret hingga Desember 2020. Semua negara bersiap siaga merumuskan dan mengambil kebijakan demi melindungi kepentingan nasionalnya sendiru, yaitu perlindungan warganegara.Â
Pandemi, vaksin, dan tindakan vaksinasi telah menjadi isu kesehatan publik global, seperti wabah sars, mears, dan Ebola. Namun Covid-19 memiliki karakter berbeda. Pembiakan yang eksponensial dan terbawa manusia yang terkontaminasi telah membuatnya tersebar dengan pesat ke berbagai negara.Â
Tanpa sadar, berbagai negara bertindak secara sepihak atau unilateral. Urgensi keselamatan penduduk menjadi prioritas utama hampir semua negara di dunia. Pada awwlnya, negara-negara tidak merasa perlu berbicara di forum-forum PBB untuk berkoordinasi secara multilateral. Berbagai negara di kawasan sama juga tidak merasa perlu berkonsultasi dengan organisasi regional, seperti ASEAN di Asia Tenggara atau Uni Eropa di benua Eropa.
Negara-negara bertetangga juga tidak merasa perlu membangun protokol bilateral mengenai mobilitas penduduk di masa-masa awal pandemi Covid-19. Potensi konflik antar-negara tetangga juga mudah muncul. Korea Selatan protes atas perlakuan Jepang yang dianggap tidak etis terhadap warga negaranya. Singapura dan Australia meragukan kemampuan Indonesia menangani Covid-19 terkait alasan jumlah penduduk, luas wilayah, dan kualitas infrastruktur kesehatan.
Peran Negara
Akhirnya kekuatan negara dalam melawan Covid-19 ini ternyata tidak lagi berbasis pada kekuatan keras (hard power) Â berbentuk peralatan perang tercanggih, kemajuan teknologi, banyaknya jumlah penduduk, atau kemampuan deteren sebuah negara. Pertimbangan hard power harus ditinggalkan.Â
Bahkan sistem politik dan pemerintahan sebuah negara juga tidak lagi relevan bagi kemampuan negara menghadapi Covid-19 ini. Sebuah negara itu demokratis atau otoriter atau bersistem apa pun bukan menjadi penentu keberhasilannya berperang melawan Covid-19.
Negara yang diperlukan untuk melawan Covid-19 ini adalah negara kuat (strong state). Negara kuat ini tidak berkaitan dengan negara demokratis atau, apalagi, otoriter. Negara kuat lebih terkait dengan state capacity (kemampuan negara merumuskan kebijakan) dan state capability (kemampuan menjalankan kebijakan).Â