Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulis Itu Seharusnya Membebaskan Lho

24 Desember 2020   20:51 Diperbarui: 24 Desember 2020   21:08 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berakhirnya tahun 2020 ini mendorong saya untuk 'melihat' kembali bacaan saya selama bergabung di Kompasiana. Ketidaktahuan saya dalam dunia tulis-menulis membuat saya membaca beberapa tulisan di forum bersama ini demi mendapatkan ide untuk menulis dan belajar ketrampilan menulis.

Melalui tulisan ini, saya mencoba menawarkan optimisme kepada penulis pemula. Semangat tulisan ini adalah bahwa "menulis itu seharusnya membebaskan". Mengapa begitu? Karena masih banyak orang merasa terbelenggu ketika hendak memulai menulis. Banyak orang berpandangan bahwa menulis susah atau menakutkan.

Salah satu penyebab utama dari ketakutan orang ketika hendak menulis adalah belenggu aturan main dari bentuk-bentuk tulisan. Bayangan kesulitan bahwa menulis itu harus mengikuti aturan tertentu dengan bahasa Indonesia yang baku pula. 

Pemakaian bahasa baku mungkin relatif atau tergantung dari bentuk, tempat pubikasi tulisan, dan pembaca. Tulisan untuk jurnal akademik tentu saja menuntut penggunaan aturan penulisan tertentu dan bahasa akademik. Dalam bahasa Inggris ada istilah English for academic purpose atau academic English. Tulisan untuk jurnal akademik itu pastinya berbeda dengan tulisan untuk Kompasiana.

Tulisan ini tidak membahas aspek politik, sosial-budaya, atau psikologis dari isu membebaskan dalam menulis, namun lebih membahas dari aspek tulis-menulis yang lebih sederhana dan praktis. Selain itu, saya bukan seorang ahli atau pakar dalam penulisan fiksi dan non-fiksi. Tulisan ini merupakan hasil pengamatan sederhana saya setelah selama 100an hari ini  ‘menyusup’ di Kompasiana. 

Kompasiana adalah ‘hutan rimba’ tulisan yang membuat saya ‘berkelana’ di antara proses membaca, menulis, dan menghasilkan tulisan. Tujuannya adalah demi meluapkan kebebasan saya dalam menulis sesuatu yang saya belum tahu, sehingga memotivasi saya untuk membaca lebih banyak. Dengan cara itu, saya memanfaatkan Kompasiana semaksimal mungkin demi ikut mendukung pandangan saya bahwa menulis itu membebaskan.

Lalu, apa yang harus dilakukan agar menulis itu bisa membebaskan? Dalam tulisan ini, saya mengajak penulis pemula untuk melihat pada perkembangan bentuk-bentuk tulisan (baik fiksi maupun non-fiksi) di Kompasiana. Silakan membaca berbagai esai atau tulisan opini, cerita pendek (cerpen), puisi, novel, dan sebagainya di Kompasiana ini. Bagi saya, ada banyak tulisan yang ternyata tidak lagi ditulis sesuai pakem atau aturan main selama ini. 

Saya melihat kecenderungan itu sebagai sebuah perkembangan menarik dalam dunia tulis-menulis di Kompasiana. Sebagai konsekuensinya, bentuk-bentuk tulisan berkembang menjadi semakin variatif. Perkembangan bentuk-bentuk tulisan (baik fiksi maupun non-fiksi) ini yang saya anggap sebagai tulisan yang membebaskan. 

Saya mencoba mengelompokannya di bawah ini, yaitu:

1. Tulisan tidak harus berbentuk esai atau narasi.
Pada umumnya, sebuah tulisan berbentuk esai. Banyak orang membayangkan sebuah tulisan itu terdiri dari banyak kalimat dalam beberapa alinea. Padahal banyak tulisan mengenai resep atau saran atau tips melakukan sesuatu atau how to bisa mengambil bentuk poin-poin singkat dengan penjelasan seperlunya.

Tulisan mengenai cara menyalakan televisi, misalnya, biasanya ditulis dalam bentuk poin-poin yang lebih mudah dimengerti daripada dalam bentuk kalimat-kakimat panjang.

Bahkan ketika tulisan dibukukan, bentuk tulisan pun akan menentukan bentuk buku. Tulisan-tulisan non-fiksi, apalagi yang fiksi, tidak harus dibukukan dalam bentuk umum, yaitu A5 atau standar lain yang ditetapkan UNESCO. Bahkan, tulisan-tulisan yang diterbitkan lewat jalur indie menjadi semakin fleksibel dalam menuntut bentuk-bentuk tulisan dan bukunya.

2. Puisi tidak lagi harus ditulis mengikuti pakemnya, yaitu terdiri 3-4 bait dan setiap bait harus 4 baris atau setiap baris harus lebih dari 1 kata dengan rima tertentu, dan seterusnya. Bentuk-bentuk puisi menjadi beraneka ragam. Ada puisi yang terdiri dari satu bait dengan 1 kata tiap baris, tanpa rima tertentu. 

Konon puisi seorang pesohor di bidang ini hanya terdiri dari satu (1) kata saja. Entah bagaimana perdebatan mengenai puisi satu kata itu. 

Di Kompasiana, beberapa puisi tampaknya ditulis dalam bentuk 'bebas' seturut pengetahuan dan kemampuan penulisnya. Selanjutnya, saya belum tahu apakah penulisan puisi dalam bentuk 'bebas' itu disengaja atau ada sebuah gerakan sporadis untuk membebaskan diri dari belenggu aturan main penulisan puisi. 

Saya juga memperhatikan banyak puisi dari beberapa Kompasianer ditulis dalam bentuk esai, sehingga muncul nama 'puisi esai'. Saya mendapatkan istilah ini di salah satu tulisan Kompasianer. Saya cek di pencarian Kompasiana ternyata ada banyak tulisan dengan istilah itu.

Yang terakhir dari bentuk-bentuk puisi adalah kemunculan puisi tiga baris (putibar) dan puisi tiga bait (putiba). Puisi semacam ini, khususnya yang tiga baris, tampaknya dibuat untuk pembaca yang tidak memiliki banyak waktu.

3. Cerita pendek (cerpen) tidak harus memiliki jumlah kata atau halaman tertentu. Mengenai jumlah kata di cerpen, seorang Kompasianer meminjam jawaban Daeng Khrisna Pabhicara dengan menceritakan bahwa Rabindranath Tagore pernah menulis cerpen sebanyak 125 kata saja, tetapi pernah juga hingga 25.000 kata. Ini artinya banyak atau sedikitnya jumlah kata pada cerpen sangat tergantung pada kebutuhan penulis cerpen itu sendiri.

Profesor Tengsoe Tjahjono menambahkan cerpen tiga paragraf (pentigraf) dan cerita tiga kalimat (tatika). Pada saat ini, saya secara kebetulan sedang belajar menulis cerpen tatika itu. Minat saya pada tatika ini lebih pada pertimbangan praktis, yaitu jauh lebih pendek daripada cerpen pada umumnya.

Ketiga bentuk tulisan itu adalah hasil dari pengamatan awal saya sebagai penulis pemula dan amatir. Ini berdasarkan bacaan selama ini terhadap berbagai tulisan para Kompasianer dan satu-dua sumber terkait lain.

Sejak bergabung di Kompasiana, saya ternyata tidak hanya beraktifitas menulis. Ada kegiatan penting lain yang harus dilakukan untuk kelancaran kegiatan menulis, yaitu membaca. 

Sekali lagi meminjam istilah Daeng Khrisna Pabichara, saya mencoba menjadi 'pembaca yang rakus.' Kerakusan saya dalam membaca masih di level pemula juga. Setiap hari saya mencoba membaca 4-7 tulisan Kompasianer demi memotivasi saya mendapatkan ide dalam menulis opini, cerpen tatika, atau puisi.

Membaca berbagai tulisan menarik di Kompasiana memang terkadang membuat saya terkaget-kaget berkaitan dengan banyaknya variasi ide tulisan yang tidak saya sangka. Selain dalam aspek jumlah bacaan, saya secara tidak sadar membaca tulisan dari berbagai kategori di Kompasiana.

Kembali ke tujuan awal tulisan ini, yaitu bahwa perkembangan bentuk tulisan dapat membuat kegiatan menulis itu seharusnya dan memang membebaskan, bukannya malah membelenggu. 

Dengan memotret berbagai bentuk tulisan yang variatif dan tidak lagi terpaku pada pakem-pakem tertentu, maka menulis itu seharusnya membebaskan.

Menulis memberi kita kesempatan untuk berekspresi tanpa kawatir mengenai aturan main penulisan. Tulisan pun bisa mengalir tiap hari di Kompasiana.

Selamat mencoba dan semoga bermanfaat.

Sumber: 1, 2.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun