Bahkan ketika tulisan dibukukan, bentuk tulisan pun akan menentukan bentuk buku. Tulisan-tulisan non-fiksi, apalagi yang fiksi, tidak harus dibukukan dalam bentuk umum, yaitu A5 atau standar lain yang ditetapkan UNESCO. Bahkan, tulisan-tulisan yang diterbitkan lewat jalur indie menjadi semakin fleksibel dalam menuntut bentuk-bentuk tulisan dan bukunya.
2. Puisi tidak lagi harus ditulis mengikuti pakemnya, yaitu terdiri 3-4 bait dan setiap bait harus 4 baris atau setiap baris harus lebih dari 1 kata dengan rima tertentu, dan seterusnya. Bentuk-bentuk puisi menjadi beraneka ragam. Ada puisi yang terdiri dari satu bait dengan 1 kata tiap baris, tanpa rima tertentu.Â
Konon puisi seorang pesohor di bidang ini hanya terdiri dari satu (1) kata saja. Entah bagaimana perdebatan mengenai puisi satu kata itu.Â
Di Kompasiana, beberapa puisi tampaknya ditulis dalam bentuk 'bebas' seturut pengetahuan dan kemampuan penulisnya. Selanjutnya, saya belum tahu apakah penulisan puisi dalam bentuk 'bebas' itu disengaja atau ada sebuah gerakan sporadis untuk membebaskan diri dari belenggu aturan main penulisan puisi.Â
Saya juga memperhatikan banyak puisi dari beberapa Kompasianer ditulis dalam bentuk esai, sehingga muncul nama 'puisi esai'. Saya mendapatkan istilah ini di salah satu tulisan Kompasianer. Saya cek di pencarian Kompasiana ternyata ada banyak tulisan dengan istilah itu.
Yang terakhir dari bentuk-bentuk puisi adalah kemunculan puisi tiga baris (putibar) dan puisi tiga bait (putiba). Puisi semacam ini, khususnya yang tiga baris, tampaknya dibuat untuk pembaca yang tidak memiliki banyak waktu.
3. Cerita pendek (cerpen) tidak harus memiliki jumlah kata atau halaman tertentu. Mengenai jumlah kata di cerpen, seorang Kompasianer meminjam jawaban Daeng Khrisna Pabhicara dengan menceritakan bahwa Rabindranath Tagore pernah menulis cerpen sebanyak 125 kata saja, tetapi pernah juga hingga 25.000 kata. Ini artinya banyak atau sedikitnya jumlah kata pada cerpen sangat tergantung pada kebutuhan penulis cerpen itu sendiri.
Profesor Tengsoe Tjahjono menambahkan cerpen tiga paragraf (pentigraf) dan cerita tiga kalimat (tatika). Pada saat ini, saya secara kebetulan sedang belajar menulis cerpen tatika itu. Minat saya pada tatika ini lebih pada pertimbangan praktis, yaitu jauh lebih pendek daripada cerpen pada umumnya.
Ketiga bentuk tulisan itu adalah hasil dari pengamatan awal saya sebagai penulis pemula dan amatir. Ini berdasarkan bacaan selama ini terhadap berbagai tulisan para Kompasianer dan satu-dua sumber terkait lain.
Sejak bergabung di Kompasiana, saya ternyata tidak hanya beraktifitas menulis. Ada kegiatan penting lain yang harus dilakukan untuk kelancaran kegiatan menulis, yaitu membaca.Â
Sekali lagi meminjam istilah Daeng Khrisna Pabichara, saya mencoba menjadi 'pembaca yang rakus.' Kerakusan saya dalam membaca masih di level pemula juga. Setiap hari saya mencoba membaca 4-7 tulisan Kompasianer demi memotivasi saya mendapatkan ide dalam menulis opini, cerpen tatika, atau puisi.