Pilihan kedua, kita memasukkan tulisan-tulisan di buku itu berdasarkan satu atau beberapa tema/topik tertentu. Dengan cara ini, isi buku dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian berdasarkan kesamaan tema tulisan-tulisan.Â
Para Kompasianer dengan mudah bisa menulis/membuat buku kumpulan tulisan sendiri ini. Dengan jumlah tulisan lebih dari 60, misalnya, sebuah buku bisa diterbitkan dengan minimal 60 halaman. Seingat saya, 60 halaman ini syarat minimal sebuah buku untuk memiliki ISBN.Â
Bisa dibayangkan jika seorang Kompasianer memiliki lebih dari 100 tulisan, maka ada lebih dari 1 buku bisa dibuat. Konversi tulisan kompasianer menjadi buku ini mungkin bisa menjadi salah satu bagian dari kegiatan Kompasianival selanjutnya, jika di tahun 2020 ini belum ada. Ini sekedar usulan ide saja.
2. Kumpulan tulisan barengan atau keroyokan
Buku kumpulan tulisan ini ditulis secara bersama-sama dengan teman-teman atau orang-orang dengan kesamaan minat, hobi, atau kompetensi dan lain-lain. Prosesnya sama dengan buku kumpulan tulisan sendiri. Yang membedakan adalah soal komitmen dan displin waktu. Kedua faktor ini sangat penting mengingat keterlibatan banyak orang memerlukan upaya koordinasi dalam banyak hal.Â
Di masa pandemi ini, banyak tawaran penulisan buku kumpulan tulisan model keroyokan ini. Beberapa komunitas penulis menyelenggarakan kegiatan ini. Anggota yang berminat diharapkan berkontribusi 1 tulisan dan mengganti biaya produksi 1 buku itu. Jumlah buku yang dicetak pun tidak banyak, tapi sejumlah penulis yang ada dibuku itu. Buku kumpulan puisi biasanya menjadi sasaran kegiatan ini.Â
Bahkan ada lembaga yang menawarkan pelatihan penulisan (puisi, misalnya). Pelatihan berlangsung selama 2-3 minggu dengan tujuan setiap peserta menulis sebuah puisi. Di akhir pelatihan, setiap peserta mendapatkan sebuah buku dengan tulisannya di buku itu.
Dengan cara-cara itu, setiap penulis atau peserta pelatihan berperan sebagai kontributor tulisan dan pembeli buku. Cara ini biasanya sangat efektif dalam memberikan solusi yang berkaitan dengan masalah mengenai sulitnya penjualan buku-buku cetak di masa pandemi ini.Â
Salah satu aspek yang penting untuk diperhatikan adalah kesamaan komitmen menulis sebuah bab dalam sebuah buku yang sudah disepakati dan jadwal waktu penulisan buku sejak penentuan judul buku, proses penulisan draft sebuah bab, proses editing individu dan bersama, hingga naik cetak, waktu terbit, dan sebagainya.
Setelah mengetahui kedua cara menulis buku kumpulan tulisan, seorang penulis harus mempraktekannya secara displin dalam pengaturan waktu dan komitmen menulis. Kedua cara menulis buku itu tidak bisa dibandingkan begitu saja bahwa yang pertama lebih sulit daripada yang kedua.Â
Berdasarkan pengalaman saya selama ini, keduanya memiliki tingkat kesulitan yang relatif sama. Atau dalam bahasa yang sifatnya motivasional: kedua buku memiliki tingkat kemudahan yang sama. Situasi akan menjadi lebih mudah lagi jika tulisan-tulisan sudah ada dan siap untuk proses editing dan seterusnya hingga tahap naik cetak.
Satu faktor pembeda di antara kedua cara itu adalah jumlah penulis. Cara pertama lebih menuntut satu orang penulis itu memiliki kemampuan lebih dalam mengorganisir diri (self-organised). Sementara itu, cara kedua lebih menuntut kemampuan mengorganisir banyak penulis dengan kebiasaan menulis yang berbeda-beda. Akibatnya, disiplin waktu dan komitmen menulis harus disepakati bersama pada cara membuat buku kumpulan tulisan barengan.