Konkritnya, dengan diterima sebagai warga negara dari negara lain, paspor Indonesia dicabut dan berganti paspor negara lain.Â
Kewajiban-kewajiban sebagai penduduk baru dari negara lain pun muncul bersamaan dengan hak-hak baru yang didapat. Salah satu konsekuensinya, anda tidak mudah lagi pulang ke Indonesia (paling tidak secara prosedural).
Baiklah, kembali ke informalitas tadi. Ada beberapa informalitas yang hilang, jika pindah warga negara. Pertama, tidak banyak hal bisa ditemukan atau dibeli di pinggir jalan, seperti di Indonesia.Â
Di luar sana, semua sudah ditata rapi di lokasi-lokasi sesuai peruntukannya. Ada daerah pemukiman (residential area) dilengkapi dengan taman bermain (play ground) yang tidak boleh bercampur dengan pasar atau supermarket. Penjual sate, tukang bakso, bahkan Indomaret tidak bisa ditemukan di sembarang daerah di pinggir jalan.
Kedua, semua berbasis pada aturan main, pada sistem, bukan orang. Di negara-negara yang lebih maju ketimbang Indonesia, banyak hal urusan kehidupan sudah diatur sistem atau, mudahnya, computerised dan terintegrasi.Â
Tidak bisa tawar menawar seperti di Indonesia supaya mendapatkan sesuatu lebih mudah. Data bank terintegrasi dengan data penduduk, dan jaminan sosial, misalnya. Akibatnya, upaya mendapatkan keuntungan ekonomi di luar sistem bisa diminimalisir.
Ketiga, ke(tidak)teraturan. Ini bisa ditemukan pada landskap lalu lintas Indonesia. Semua kendaraan masuk jadi satu di jalan. Belok kanan-kiri bebas. Menyeberang jalan tidak perlu Di tempatnya.Â
Tidak ada batas kecepatan di jalan. Parkir pun bebas. Kebebasan itu semakin menjadi-jadi kalo pemilik kendaraan punya banyak uang, pangkat, dan senjata... hehehe...
Saya tidak hendak mengatakan alasan ini baik atau buruk, lalu menentukan seseorang pindah warga negara. Masih banyak faktor lain, seperti dokumen, dana, isu kesehatan, dan lain-lain.Â
Namun, alasan itu saya tuliskan lebih pada kenyataan bahwa kebiasaan itu sudah mendarah daging di Indonesia. Kebiasaan itu akan hilang jika pindah warganegara.
Seperti judul tulisan ini, alasan informalitas memang remeh-temeh, tapi itu yang biasanya dirindukan oleh teman-teman bule saya yang pernah tinggal lama di Indonesia.Â