Pagi ini rasanya malas gerak alias mager, males mikir, pengen santai, mau cari yang mudah dan praktis saja, tapi masih bisa membuat tulisan buat Kompasiana.Â
Tak ada cara lain, saya klik Topik Pilihan di Kompasiana untuk ide tulisan kali ini. Ketemu topiknya: pindah warga negara. Ternyata mudah juga mendapatkan ide untuk menulis.
Kebetulan saya pernah tinggal di negara lain selama beberapa tahun. Membuat tulisan ini seolah menjadi nostalgia.
Saya sendiri tidak pernah kepikiran untuk pindah warga negara. Terlalu kompleks persiapan, proses, dan resikonya. Waktu yang diperlukan untuk memulai dan menyelesaikan proses itu juga susah diprediksi.Â
Apalagi dengan situasi personal ---misalnya, sudah berkeluarga dan memiliki anak--- akan lebih rumit ketimbang ketika masih single dan muda.
Oleh karena itu pula, saya mencoba mencari-cari alasan yang remeh-temah saja. Alasan-alasan lain pasti sudah disinggung di tulisan lain di Kompasiana ini.
Dari banyak alasan itu, salah satunya yang saya pilih adalah informalitas. Maksudnya adalah kebiasaan tidak formal. Santai. Kadang dalam bentuk kebiasaan tidak taat hukum.Â
Ada aturan hukum, tapi tidak dilaksanakan. Kalaupun hukum dijalankan, tapi tidak sepenuhnya. Banyak hal dianggap dan diperlakukan santai. Baru disiplin kalo ada polisi atau pemegang otoritas, dan seterusnya.
Oya, pindah warga negara ini masalah serius, lho. Terlalu sederhana, kalau pindah warga negara hanya karena kecewa dengan UU Cipta Kerja. Seolah-olah selama ini hidup di Indonesia tidak pernah kecewa oleh hal-hal lain.
Pindah warga negara lebih serius ketimbang pindah kerja ke negara lain. Jauh lebih serius ketimbang studi lanjut di negara lain. Bahkan jauh-jauh lebih serius ketimbang jalan-jalan ke luar negeri. Jadi, pindah warga negara sangat beda dengan yang lain dari segi waktu.
Kedua, pindah warga negara berarti anda menetap dan tinggal di negara lain yang menjadi pilihan sadar anda. Yang paling penting adalah anda harus siap kehilangan yang ada di Indonesia dan, sebaliknya, mempersiapkan diri menyambut banyak hal baru di negara baru.
Konkritnya, dengan diterima sebagai warga negara dari negara lain, paspor Indonesia dicabut dan berganti paspor negara lain.Â
Kewajiban-kewajiban sebagai penduduk baru dari negara lain pun muncul bersamaan dengan hak-hak baru yang didapat. Salah satu konsekuensinya, anda tidak mudah lagi pulang ke Indonesia (paling tidak secara prosedural).
Baiklah, kembali ke informalitas tadi. Ada beberapa informalitas yang hilang, jika pindah warga negara. Pertama, tidak banyak hal bisa ditemukan atau dibeli di pinggir jalan, seperti di Indonesia.Â
Di luar sana, semua sudah ditata rapi di lokasi-lokasi sesuai peruntukannya. Ada daerah pemukiman (residential area) dilengkapi dengan taman bermain (play ground) yang tidak boleh bercampur dengan pasar atau supermarket. Penjual sate, tukang bakso, bahkan Indomaret tidak bisa ditemukan di sembarang daerah di pinggir jalan.
Kedua, semua berbasis pada aturan main, pada sistem, bukan orang. Di negara-negara yang lebih maju ketimbang Indonesia, banyak hal urusan kehidupan sudah diatur sistem atau, mudahnya, computerised dan terintegrasi.Â
Tidak bisa tawar menawar seperti di Indonesia supaya mendapatkan sesuatu lebih mudah. Data bank terintegrasi dengan data penduduk, dan jaminan sosial, misalnya. Akibatnya, upaya mendapatkan keuntungan ekonomi di luar sistem bisa diminimalisir.
Ketiga, ke(tidak)teraturan. Ini bisa ditemukan pada landskap lalu lintas Indonesia. Semua kendaraan masuk jadi satu di jalan. Belok kanan-kiri bebas. Menyeberang jalan tidak perlu Di tempatnya.Â
Tidak ada batas kecepatan di jalan. Parkir pun bebas. Kebebasan itu semakin menjadi-jadi kalo pemilik kendaraan punya banyak uang, pangkat, dan senjata... hehehe...
Saya tidak hendak mengatakan alasan ini baik atau buruk, lalu menentukan seseorang pindah warga negara. Masih banyak faktor lain, seperti dokumen, dana, isu kesehatan, dan lain-lain.Â
Namun, alasan itu saya tuliskan lebih pada kenyataan bahwa kebiasaan itu sudah mendarah daging di Indonesia. Kebiasaan itu akan hilang jika pindah warganegara.
Seperti judul tulisan ini, alasan informalitas memang remeh-temeh, tapi itu yang biasanya dirindukan oleh teman-teman bule saya yang pernah tinggal lama di Indonesia.Â
Bagi mereka, keteraturan di Indonesia itu adalah ketidakteraturan itu sendiri. Mereka kangen dan rindu 'ketidakteraturan' di Indonesia yang tidak mereka miliki di negara mereka.
Tersenyum kecut saya mengingat celoteh itu. Saya lanjutkan saja aksi males gerak pagi ini. Cukuplah pindah warganegara menjadi ide tulisan ini saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI