Mohon tunggu...
Ludi Mauliana
Ludi Mauliana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Strive to be awesome

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepatu Itu Tidak Sia-sia

26 Maret 2016   12:19 Diperbarui: 26 Maret 2016   12:31 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Gambar diambil dari www.aliexpress.com"][/caption]

 

Kabut tipis menuruni kaki bukit menyertai kepulangan Ayah dari perantauannya. Kokok ayam masih belum usai. Sisa hujan semalam membuat udara pagi ini dingin menusuk. Ia menggendong sebuah tas ransel lusuh. Langkahnya tegap di tangan kirinya membawa sepasang sepatu baru berwarna putih bersih. Kontras dengan baju kemeja yang dipakainya. Kami baru saja selesai menimba air,  mengisi tong-tong besar untuk kebutuhan sehari-hari.

Aku -Mada- dan ketiga saudaraku, Gani, Rumpun dan Lara berdiri di depan rumah menyambut kedatangan Ayah. Hampir dua tahun ia pergi. Dan sebelum musim panen padi inilah dirinya pulang. Mata kami tertuju pada satu hal yang sama. Sepatu.

"Mak, Ayah pulang…" teriak kami serempak memberitahu Mamak.

Prang.

Terdengar bunyi barang pecah belah menghantam lantai. Kami tersontak kaget lantas berlarian ke sumber suara dan hampir melompat jantung kami melihat pemandangan yang tersaji. Lantai dapur kami bertabur beling. Pecahan-pecahan itu masih segar namun sudah siap melukai telapak kaki yang tidak hati-hati. Potongan-potongan kaca itu pun menyadarkanku kalau piring dan gelas tidak disebut barang pecah belah tanpa alasan. Mereka akan tetap hancur meski menghantam lantai dapur kami yang masih berwujud tanah sekalipun.

“Ada apa kok tiba-tiba kalian lari?” tanya Ayah sebagai orang yang terakhir tiba di TKP.

“Ini, Yah,” telunjukku mengarahkan pandangan Ayah ke lantai dapur yang penuh pecahan kaca.

“Pasti kerjaanya si Budug lagi, nih.” gerutu Gani menumpahkan salah pada kucing jalanan penuh borok yang sering menginvasi ruang dapur kami tanpa permisi.

“Iya, pasti si Budug!” si bungsu Lara pun mendukung tudingan kakaknya.

Ayah langsung memberi komando untuk segera membersihkan pecahan-pecahan piring dan gelas tersebut. Aku dan saudara-saudaraku segera mengambil sapu dan pengki. Begitu kami kembali dan siap melakukan proses pembersihan, Ayah lantas bertanya, “Oh, iya, dimana ibu kalian?”

Baru mau kami mengarahkan telunjuk ke kamar, tiba-tiba sebuah suara memanggilku.

“Mada! Mada!”

Aku tersenyum pada Ayah. “Nah, itu suaranya, Yah.”

Sempat kusaksikan bibir Ayah melengkung sebelum kemudian dia melangkah menuju kamar. Kami pun mengikuti Ayah seperti anak itik yang mengekor induknya. Kami berhenti di bawah kusen pintu kamar. Bukan karena kami kehilangan tenaga untuk lanjut berjalan atau ada paku payung bertebaran di hadapan kami. Sengaja kami diam demi sebuah pemandangan indah dimana seorang ayah menumpahkan rasa rindunya kepada sesosok perempuan yang telah melahirkanku dan ketiga adikku. Suami istri itu berpelukan, erat dan hangat. Sepuluh detik berlalu namun tubuh kedua orang tuaku masih saling terkait. Ayah membungkuk, mengaitkan tangan kekarnya merangkul tubuh ibuku yang masih terduduk di pinggir kasur. Aku cuma bisa nyengir maklum. Ya, namanya juga pertemuan setelah dua tahun terpisah jarak, jadi jangan tanya seberapa menumpuk kerinduan mereka berdua.

Pelukan dua sejoli beranak empat itu usai juga. Ayah lalu mengangkat tangan kirinya, memamerkan sepasang benda putih bersih.

“Lihat, Ma, Papa bawa apa,”

Mereka berpelukan lagi.

“Terima kasih, Pa.” sahut Mamak dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Mamak melanjutkan, “Maaf, Mama tidak ikut menyambut Papa pagi ini. Begitu tahu Papa akan tiba hari ini, Mama jadi terlalu semangat sampai-sampai terlambat tidur tadi malam.”

Ayah tidak berucap apapun. Dia hanya membalas kalimat Mamak dengan senyum dan kecupan di dahi. Halah, hidup di desa dan tinggal di rumah yang lantainya belum berkeramik semua rupanya tidak membatasi kedua orang tua kami untuk bertingkah seperti pasangan yang tinggal di kota besar. Makan masih sering dengan nasi dan tempe tapi panggilannya sudah Mama dan Papa. Hahaha, sudahlah.

***

Aku, Gani, Rumpun, dan si bungsu Lara kini berjejer rapi menghadap kedua orang tua kami yang tampak serasi duduk berdampingan di tepian ranjang. Di dalam kamar itu kami memfokuskan pendengaran pada suara Ayah. Laki-laki yang kulitnya berubah jadi lebih gelap itu mulai bertutur tentang petualangannya di kota. Ayah berkisah dan terus berkisah seakan tidak ada tamatnya. Aku dan ketiga saudaraku akhirnya kompak bersila karena tak tahan berdiri lama.

“Ini sepatu, khusus buat Mama.” dengan lembut Ayah menaruh sepatu putih itu di pangkuan Mamak.

Senyum kecil tersungging di wajah Mamak. Sebentar wanita itu memperhatikan sepatu berhak itu sebelum kemudian dia alihkan pandangan ke sebuah benda di pinggir ranjang. Dengan tangannya yang mulai dihiasi keriput, Mamak menyentuh benda yang mirip kursi itu. Mamak mengusapnya perlahan. Benda yang juga ada rodanya itu terus dielus dan pelan-pelan garis wajah Mamak berubah. Senyum simpul yang tadi melengkung kini memudar dengan pasti. Yang bisa kutangkap lewat raut Mamak sekarang hanya perasaan sendu dan keinginan untuk menumpahkan ait mata.

Usapan Mamak di kursi berroda itu akhirnya berhenti begitu tangan berurat Ayah tertelungkup di atas punggung tangan Mamak. Pegangan kursi berroda itu kemudian mau tak mau harus menopang telapak tangan kedua orang tuaku. Jari-jari mereka saling mengisi.

Tidak ada kata-kata lagi yang terdengar. Sunyi mendadak menyelimuti kami. Hanya kokok ayam di luar sana yang sesekali meredakan keheningan sebelum kemudian senyap kembali menyergap. Mamak menyampirkan kepalanya di pundak Ayah. Tangan mereka yang disandarkan di atas pegangan kursi roda itu semakin erat saling memeluk. Aku dan adik-adikku cuma bisa saling pandang begitu mata kami dengan jelas menemukan ada butir-butir air yang mengalir dari mata Mamak.

***

“Papa pakaikan, ya,”

Aku hanya bisa menyaksikan sambil berpacu jantung kala sepatu putih itu Ayah pasangkan di kaki Mamak. Gani dan Rumpun juga tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Kurasa Lara lah yang paling bersemangat. Lihat saja bagaimana adik termudaku itu menyaksikan prosesi pemasangan sepatu itu dengan mata melotot dan mulut yang lebar terbuka.

“Bagaimana?” tanya Ayah. “Pas, tidak?”

Masih duduk di pinggiran ranjang, Mamak memandang kakinya yang kini sudah terbungkus sepasang sepatu putih. Mamak perlahan bangkit. Cantik dan anggun, mungkin dua kata itulah yang bisa kuberikan jika Aku harus berkomentar tentang penampilan Mamak sekarang. Lara semakin melotot saking takjubnya.

Dalam hati Aku berterimakasih kepada-Mu Tuhan. Syukur kupanjatkan atas kehadirat-Mu. Puji bagi-Mu yang telah mengangkat penyakit Mamak yang pernah membuatnya tidak bisa berjalan. Seandainya tidak Kau sembuhkan Mamak sebulan yang lalu, mungkin Mamak akan terus menghangatkan kursi roda itu. Terima kasih karena sepatu yang Ayah bawa tidak jadi barang yang sia-sia.

Astaga! Aku lupa masih harus membersihkan hasil kelakuan si kucing borokan itu. Harus cepat kusingkirkan beling-beling itu. Kaki orang bisa kena musibah. Aku tak mau melihat kursi roda itu berfungsi lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun