Mohon tunggu...
Ludi Mauliana
Ludi Mauliana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Strive to be awesome

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepatu Itu Tidak Sia-sia

26 Maret 2016   12:19 Diperbarui: 26 Maret 2016   12:31 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Aku, Gani, Rumpun, dan si bungsu Lara kini berjejer rapi menghadap kedua orang tua kami yang tampak serasi duduk berdampingan di tepian ranjang. Di dalam kamar itu kami memfokuskan pendengaran pada suara Ayah. Laki-laki yang kulitnya berubah jadi lebih gelap itu mulai bertutur tentang petualangannya di kota. Ayah berkisah dan terus berkisah seakan tidak ada tamatnya. Aku dan ketiga saudaraku akhirnya kompak bersila karena tak tahan berdiri lama.

“Ini sepatu, khusus buat Mama.” dengan lembut Ayah menaruh sepatu putih itu di pangkuan Mamak.

Senyum kecil tersungging di wajah Mamak. Sebentar wanita itu memperhatikan sepatu berhak itu sebelum kemudian dia alihkan pandangan ke sebuah benda di pinggir ranjang. Dengan tangannya yang mulai dihiasi keriput, Mamak menyentuh benda yang mirip kursi itu. Mamak mengusapnya perlahan. Benda yang juga ada rodanya itu terus dielus dan pelan-pelan garis wajah Mamak berubah. Senyum simpul yang tadi melengkung kini memudar dengan pasti. Yang bisa kutangkap lewat raut Mamak sekarang hanya perasaan sendu dan keinginan untuk menumpahkan ait mata.

Usapan Mamak di kursi berroda itu akhirnya berhenti begitu tangan berurat Ayah tertelungkup di atas punggung tangan Mamak. Pegangan kursi berroda itu kemudian mau tak mau harus menopang telapak tangan kedua orang tuaku. Jari-jari mereka saling mengisi.

Tidak ada kata-kata lagi yang terdengar. Sunyi mendadak menyelimuti kami. Hanya kokok ayam di luar sana yang sesekali meredakan keheningan sebelum kemudian senyap kembali menyergap. Mamak menyampirkan kepalanya di pundak Ayah. Tangan mereka yang disandarkan di atas pegangan kursi roda itu semakin erat saling memeluk. Aku dan adik-adikku cuma bisa saling pandang begitu mata kami dengan jelas menemukan ada butir-butir air yang mengalir dari mata Mamak.

***

“Papa pakaikan, ya,”

Aku hanya bisa menyaksikan sambil berpacu jantung kala sepatu putih itu Ayah pasangkan di kaki Mamak. Gani dan Rumpun juga tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Kurasa Lara lah yang paling bersemangat. Lihat saja bagaimana adik termudaku itu menyaksikan prosesi pemasangan sepatu itu dengan mata melotot dan mulut yang lebar terbuka.

“Bagaimana?” tanya Ayah. “Pas, tidak?”

Masih duduk di pinggiran ranjang, Mamak memandang kakinya yang kini sudah terbungkus sepasang sepatu putih. Mamak perlahan bangkit. Cantik dan anggun, mungkin dua kata itulah yang bisa kuberikan jika Aku harus berkomentar tentang penampilan Mamak sekarang. Lara semakin melotot saking takjubnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun