Mohon tunggu...
Ludi Mauliana
Ludi Mauliana Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Strive to be awesome

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Barang yang Tidak Ingin Dijual

25 Februari 2016   10:32 Diperbarui: 25 Februari 2016   10:48 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jari-jari tanganku mengambang di udara, tertahan tanpa gerak layaknya membeku. Aku yang punya kuasa atas jari-jariku itu pun ikut membatu. Rasa-rasanya seluruh alat gerak di tubuhku sepakat untuk mogok bergerak. Kaku, bergeming, mematung.

Tidak ada yang mengutukku jadi batu atau pula Medusa datang menyapa dan menatapku. Sebab aku mendadak terpaku seperti patung taman begini karena aku tidak tahu apa yang harus kutulis.

Biar kuceritakan kronologinya. Beberapa saat ke belakang aku membuka laptop lalu menyambungkannya ke internet. Bukan media sosial, portal berita, atau pun situs pornografi yang kutuju, melainkan sebuah laman jual beli online. Iya, itu adalah sebuah pasar virtual dimana seseorang bisa memberitahu seisi dunia maya jika ada suatu barang yang ingin dia jual. Iya, aku ingin menjual sesuatu. Sebuah kalung, tepatnya.

Ini bukan pertama kali aku datang ke tempat macam itu. Di laman yang sama aku sudah menjual beberapa barang yang lain seperti ponsel, sepeda, sampai tas gunung. Semuanya berjalan lancar seperti yang kuharapkan, aku iklankan barangnya dan orang membelinya. Tapi entah ada apa dengan barang yang satu ini.

Dari detik pertama layar laptopku menyala aku merasa dibisiki untuk segera mematikannya. Saat internet sudah tersambung, bisikan itu datang lagi dan menyuruhku untuk menonton film saja daripada pergi ke dunia maya. Dan begitu aku sampai di laman jual beli online tersebut, bisikan itu semakin kuat menyuruhku untuk meninggalkannya.

Ada apa sebenarnya dengan barang ini?! Seingatku barang ini tidak kubeli di tempat yang banyak hantunya. Dan aku juga sangat yakin tidak pernah menyuruh siapapun untuk memasukkan mahluk tak kasat mata ke dalamnya. Tapi kenapa barang ini seakan tak mau menyerah menghembuskan hasutan-hasutan agar aku tidak menjualnya.

Ah, kurasa aku tahu. Ini bukan soal mahluk halus atau kekauatn gaib yang sedari tadi mencegahku. Ini pasti karena kenangannya.

Iya, kenangan.

Mungkin memori dan kesan yang tersimpan dalam kalung itu lah yang terus memintaku untuk tidak menjualnya. Kurasa memoriku ingin mengubahku jadi orang yang sentimentil, menjadi jenis manusia yang tidak begitu saja menelantarkan suatu materi yang banyak mengandung kenangan. Aduh, ini malah membangkitkan ingatanku.

Mataku sengaja kupejam, pikiranku memainkan ulang kisah lampau. Sekarang aku lihat diriku ketika berjalan mendekati sebuah toko perhiasan. Disana aku terkesan dengan kilau dan keindahan dari setiap perhiasan yang dipamerkan. Puas mataku dimanjakan oleh keelokan khas logam mulia, telunjukku kemudian mengarah pada sebuah kalung. Kulihat, kuraba, dan kuterawang kalung tersebut seolah untuk menaksir nilai dan keasliannya sama dengan menilai keaslian uang kertas. Tak lama akhirnya kalung itu resmi milikku.

Alur waktu dalam proyeksi kisah yang sedang kulihat kembali ini sengaja kumajukan sedikit. Aku putar lagi momen saat salah satu pegawai toko perhiasan tersebut mengajakku berbincang.

“Buat pacarnya, ya, Mas?”

Kala itu aku ingin sekali mengacungkan jempol karena pegawai tersebut membuat simpulan yang luar biasa tepat.

“Iya,” kataku berhias senyum, “buat hadiah ulang tahunnya.”

***

Aku tak menghitung sudah berapa kali aku berpikir ulang. Yang pasti saat ini aku sudah yakin untuk menjualnya. Semua bisikan-bisikan itu berhasil kutumpas. Tak ada lagi keraguan.

Jari-jari tanganku bergerak lagi, lincah tanpa cela menghentak papan keyboard. Jenis barang yang mau kujual sudah kuketik, begitu pula dengan harga yang kutawarkan. Semua yang perlu kuinformasikan agar barangku cepat laku sudah kutuliskan. Hampir.

Tinggal kolom deskripsi yang masih tanpa huruf, kosong tanpa informasi. Aku selalu memberitahukan calon pembeli alasan aku menjual suatu barang. Misalnya saat kujual ponsel lamaku, aku bilang aku butuh dana tambahan untuk membeli ponsel yang lebih bagus. Saat menjual sepeda, aku mengaku sudah tidak membutuhkannya. Dan waktu kujual tas gunungku, aku mengatakan kalau tas itu harus dijual karena hanya menyesaki kamar. Sekarang aku harus memberikan alasan kenapa aku sampai rela melepas kalung itu.

Mataku kupejamkan lagi. Berulang kali napas panjang kutarik dan kuembuskan.  Dadaku sesak.  Kantong mataku pun mulai berat, sepertinya ada sesuatu yang ingin tumpah. Siapa sangka serangan kenangan mengubahku sesaat menjadi orang yang begitu melankolis.

Dengan air yang berderai menyusuri pipi, jari-jariku bergerak lagi merangkai sejumput kalimat.

“Kalung emas ini dijamin asli. Tersertifikasi. Dijual karena...,”

Makin banyak air yang tumpah dari dalam mataku.

“Dijual karena....., tidak pernah dipakai.”

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun