“Buat pacarnya, ya, Mas?”
Kala itu aku ingin sekali mengacungkan jempol karena pegawai tersebut membuat simpulan yang luar biasa tepat.
“Iya,” kataku berhias senyum, “buat hadiah ulang tahunnya.”
***
Aku tak menghitung sudah berapa kali aku berpikir ulang. Yang pasti saat ini aku sudah yakin untuk menjualnya. Semua bisikan-bisikan itu berhasil kutumpas. Tak ada lagi keraguan.
Jari-jari tanganku bergerak lagi, lincah tanpa cela menghentak papan keyboard. Jenis barang yang mau kujual sudah kuketik, begitu pula dengan harga yang kutawarkan. Semua yang perlu kuinformasikan agar barangku cepat laku sudah kutuliskan. Hampir.
Tinggal kolom deskripsi yang masih tanpa huruf, kosong tanpa informasi. Aku selalu memberitahukan calon pembeli alasan aku menjual suatu barang. Misalnya saat kujual ponsel lamaku, aku bilang aku butuh dana tambahan untuk membeli ponsel yang lebih bagus. Saat menjual sepeda, aku mengaku sudah tidak membutuhkannya. Dan waktu kujual tas gunungku, aku mengatakan kalau tas itu harus dijual karena hanya menyesaki kamar. Sekarang aku harus memberikan alasan kenapa aku sampai rela melepas kalung itu.
Mataku kupejamkan lagi. Berulang kali napas panjang kutarik dan kuembuskan. Dadaku sesak. Kantong mataku pun mulai berat, sepertinya ada sesuatu yang ingin tumpah. Siapa sangka serangan kenangan mengubahku sesaat menjadi orang yang begitu melankolis.
Dengan air yang berderai menyusuri pipi, jari-jariku bergerak lagi merangkai sejumput kalimat.
“Kalung emas ini dijamin asli. Tersertifikasi. Dijual karena...,”
Makin banyak air yang tumpah dari dalam mataku.