Jakarta, ibu kota Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai pusat ekonomi dan budaya, tetapi juga menjadi simbol pertumbuhan urbanisasi dan industrialisasi yang pesat. Namun, kemajuan ini disertai dengan konsekuensi lingkungan yang signifikan. Selama bertahun-tahun, Jakarta sering menempati daftar kota dengan tingkat polusi tertinggi di dunia, dengan Indeks Kualitas Udara (AQI) sering berada di kategori tidak sehat. Pada 30 September 2023, Jakarta mencatatkan AQI sebesar 163, menjadikannya kota paling tercemar di dunia pada saat itu akibat tingginya konsentrasi partikel halus (PM2.5).Â
Masalah ini terus-menerus menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan kesejahteraan warga kota. Sumber utama polusi udara di Jakarta meliputi emisi kendaraan bermotor, aktivitas industri, dan proyek konstruksi. Dengan jutaan kendaraan yang melintasi jalan-jalan kota setiap hari, emisi dari sektor transportasi menjadi penyumbang utama buruknya kualitas udara.Â
Selain itu, laju urbanisasi yang cepat dan pertumbuhan aktivitas industri memperburuk keadaan, meningkatkan emisi polutan seperti nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), dan senyawa organik volatil (VOC). Dampak kesehatan dari tingginya tingkat polusi ini sangat memprihatinkan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paparan polusi udara yang tinggi dapat menyebabkan penyakit pernapasan, kardiovaskular, dan bahkan kanker.
Car Free Day: Gestur Simbolis atau Langkah Nyata
Salah satu cara untuk mengurangi polusi udara dan ketergantungan pada kendaraan pribadi, pemerintah Jakarta memperkenalkan Hari Bebas Kendaraan Bermotor atau Car-Free Day pada tahun 2002. Acara ini, yang diadakan setiap Minggu pagi, melarang kendaraan bermotor di beberapa jalan utama, memungkinkan masyarakat menikmati kota dengan berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan alat transportasi non-motor. Car-Free Day berhasil meningkatkan kesadaran akan dampak buruk emisi kendaraan dan mempromosikan gaya hidup sehat.Â
Namun, meskipun Car-Free Day adalah langkah yang positif, dampaknya terhadap kualitas udara secara keseluruhan masih terbatas. Inisiatif ini hanya berlangsung beberapa jam setiap minggu, yang tidak cukup untuk mengimbangi emisi harian dari jutaan kendaraan. Meski begitu, program ini tetap menjadi platform penting untuk edukasi dan keterlibatan publik dalam isu-isu lingkungan.
Tantangan dan Peluang bagi Transportasi PublikÂ
Meski telah terdapat upaya dari pemeriintah untuk memperbaiki kualitas layanan transportasi publik, namun sistem transportasi publik Jakarta masih menghadapi banyak tantangan. Kemacetan yang parah dan kebiasaan masyarakat yang cenderung memilih kendaraan pribadi menjadi hambatan besar dalam mendorong penggunaan transportasi publik.Â
Selain itu, cakupan dan kapasitas jaringan transportasi publik yang terbatas juga menjadi kendala dalam adopsi yang lebih luas. Lebi lanjut, untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah telah bekerja untuk mengintegrasikan berbagai moda transportasi publik, termasuk MRT Jakarta, LRT, dan perluasan sistem Bus Rapid Transit (BRT) TransJakarta. Upaya ini bertujuan untuk menciptakan jaringan yang terintegrasi dan menyediakan cakupan yang lebih luas, sehingga mengurangi kebutuhan akan kendaraan pribadi.
Mengubah Kebiasaan: Peran Persepsi Publik
Salah satu tantangan utama dalam mendorong penggunaan transportasi umum di Indonesia, khususnya di wilayah perkotaan seperti Jakarta, adalah mengubah persepsi publik mengenai penggunaan transportasi umum. Kepemilikan kendaraan pribadi sering kali dianggap sebagai simbol status sosial dan keberhasilan, yang menyulitkan upaya untuk mengalihkan perilaku masyarakat menuju pemanfaatan sistem transportasi umum. Pandangan ini tertanam kuat dalam sikap budaya dan norma sosial yang mengaitkan kepemilikan kendaraan dengan pencapaian pribadi dan kedudukan sosial.Â
Oleh karenanya, untuk mengatasi persepsi ini, upaya pemerintah tidak cukup hanya dengan meningkatkan kualitas dan aksesibilitas transportasi umum. Diperlukan juga kampanye aktif yang menyoroti manfaat menggunakan transportasi umum. Selain itu kualitas layanan transportasi publik di Indonesia sering dianggap kurang memadai, sehingga banyak pengguna lebih memilih kendaraan pribadi. Tidak memadainya kualitas layanan transportasi publik dikarenakan beberapa faktor seperti keandalan layanan, kenyamanan, keamanan, dan keterjangkauan menjadi aspek penting yang mempengaruhi kepuasan pengguna dan penerimaan sistem transportasi umum.
Langkah Ke Depan: Integrasi Kebijakan dan Keterlibatan Publik
Mengatasi krisis polusi Jakarta membutuhkan pendekatan holistik yang mengintegrasikan kebijakan, pengembangan infrastruktur, dan keterlibatan publik. Pemerintah harus terus berinvestasi dalam perluasan dan modernisasi transportasi publik sambil menerapkan regulasi yang lebih ketat terhadap emisi kendaraan dan mempromosikan penggunaan kendaraan listrik. Selain itu, inisiatif seperti Car-Free Day harus diperluas dan diintegrasikan ke dalam strategi yang lebih luas yang mencakup perbaikan infrastruktur pejalan kaki dan jalur sepeda. Mendorong moda transportasi aktif tidak hanya mengurangi emisi tetapi juga mempromosikan gaya hidup yang lebih sehat.Â
Oleh karenanya, meskipun krisis polusi di Jakarta adalah masalah yang kompleks, solusi untuk mengatasinya dapat dicapai. Dengan meningkatkan transportasi publik, mendorong pergeseran dari kendaraan pribadi, dan membangun budaya tanggung jawab lingkungan, Jakarta dapat bergerak menuju masa depan yang lebih bersih dan sehat. Perjalanan menuju perbaikan ini memang penuh tantangan, tetapi dengan upaya yang berkelanjutan dan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, kita dapat mengatasi polusi udara di ibu Jakarta.
Potensi Penurunan Polusi di Jakarta dengan Perpindahan Ibu Kota ke IKN
Perpindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap penurunan tingkat polusi di Jakarta. Sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan, Jakarta telah lama menghadapi masalah polusi udara yang parah akibat urbanisasi yang cepat, aktivitas industri, dan tingginya jumlah kendaraan bermotor. Hal ini berkontribusi pada tingginya emisi gas rumah kaca, termasuk karbon dioksida (CO), yang berdampak buruk pada kualitas udara dan kesehatan masyarakat. Salah satu tujuan utama pemindahan ibu kota adalah untuk mengatasi masalah lingkungan yang semakin kompleks di Jakarta.Â
Kota ini dianggap tidak lagi berkelanjutan karena masalah banjir yang kronis, kualitas udara yang buruk, serta infrastruktur yang tidak mampu mendukung populasi yang terus berkembang. IKN dirancang dengan pendekatan yang lebih ramah lingkungan, menggunakan teknologi hijau dan perencanaan kota yang berfokus pada kesehatan lingkungan. Diharapkan, desain ini dapat mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, mendorong penggunaan transportasi umum, dan menurunkan emisi gas rumah kaca secara keseluruhan.Â
Pemindahan fungsi administratif ke IKN diharapkan mampu mengurangi konsentrasi lalu lintas dan aktivitas industri di Jakarta, yang menjadi penyebab utama krisis polusi udara di kota ini. Dengan berkurangnya aktivitas kendaraan dan industri, emisi CO di Jakarta dapat menurun secara signifikan. Selain itu, perpindahan ini juga diharapkan dapat mendorong pembangunan regional yang lebih seimbang, mengurangi tekanan ekonomi dan sosial yang selama ini berkontribusi terhadap degradasi lingkungan di Jakarta.Â
Namun, perpindahan ibu kota saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah polusi udara. Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang komprehensif, seperti peningkatan sistem transportasi umum, regulasi emisi yang lebih ketat, dan perencanaan kota hijau di Jakarta maupun di IKN. Upaya ini akan memastikan manfaat lingkungan dari perpindahan ibu kota dapat terwujud secara optimal. Dengan demikian, Jakarta dapat bertransformasi menjadi kota yang lebih bersih dan ramah lingkungan. (lq)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI