Perang sebagai Benturan Fiksi
Kembali ke konflik Rusia dan Ukraina, apa yang sebenarnya terjadi adalah pertarungan antara dua realitas fiksi yang berbeda. Masing-masing pihak mempertahankan narasi mereka sendiri, yang dianggap benar oleh mereka, meskipun kedua narasi ini mungkin tidak dapat disatukan. Dalam hal ini, perang bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang memperebutkan kebenaran versi masing-masing.
Fiksi dalam Sejarah: Kolonialisme dan Nasionalisme
Salah satu contoh nyata bagaimana fiksi memengaruhi sejarah adalah kolonialisme. Kolonialisme Eropa pada awalnya didorong oleh fiksi-fiksi seperti rasionalitas, kemajuan, dan humanisme—sebuah narasi yang menyatakan bahwa Eropa tidak menjajah, tetapi membawa peradaban kepada dunia yang lebih "terbelakang". Namun setelah kolonialisme runtuh, bangsa-bangsa yang terjajah, seperti Indonesia, membangun realitas fiksinya sendiri—yakni tentang kesetaraan, bahwa semua bangsa memiliki hak yang sama untuk merdeka.
Dalam konteks ini, kita dapat melihat benturan antara fiksi kolonialisme dan fiksi kesetaraan yang diperjuangkan oleh bangsa-bangsa yang terjajah. Indonesia sendiri adalah sebuah realitas fiksi—bukan bentuk fisik yang bisa dilihat atau disentuh, melainkan suatu kesepakatan bersama tentang identitas, batasan, dan struktur sosial yang mengatur kehidupan kita bersama.
Manusia dan Kontrak Sosial
Thomas Hobbes dalam teori kontrak sosialnya menggambarkan keadaan manusia tanpa tatanan politik sebagai "keadaan alamiah", di mana individu hanya dipandu oleh kekuatan dan hati nurani pribadinya. Dalam keadaan ini, manusia cenderung egois, yang termanifestasi dalam kompetisi, rasa takut, dan hasrat berkuasa. Hobbes menyebut manusia dalam keadaan alamiah sebagai *homo homini lupus* (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Untuk menghindari kekacauan ini, manusia membutuhkan tatanan sosial yang mengikat—dan tatanan sosial itu lahir dari kesepakatan bersama, sebuah fiksi yang mengatur perilaku kita.
Kesimpulan: Manusia dalam Belantara Fiksi
Pada akhirnya, yang ingin saya sampaikan adalah sederhana: manusia hidup dalam dunia yang penuh dengan fiksi. Untuk bisa hidup bersama, manusia membutuhkan fiksi-fiksi yang mengikat dan mengatur. Tanpa fiksi ini, kita akan terjebak dalam keadaan chaos, seperti yang digambarkan oleh Hobbes. Fiksi, meskipun tidak nyata secara fisik, adalah kekuatan yang memungkinkan kita untuk berkoeksistensi, berkolaborasi, dan mengatur kehidupan sosial kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI