Mohon tunggu...
Lucky Maulana Azhari
Lucky Maulana Azhari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyukai bola dan film

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mari Bersepakat Untuk Tidak Lagi Berdebat Soal Privilese

1 Maret 2022   03:56 Diperbarui: 1 Maret 2022   03:57 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Agaknya kok saya merasa miris kalau manusia dibedakan cuma berdasarkan miskin dan kaya. Lho piye, yaa.

Belakangan ini, media sosial kita sering banget geger gedhen soal perdebatan miskin dan kaya. Biasanya mula-mula diawali oleh orang "kaya" yang secara serampangan berpendapat soal kemiskinan, yang padahal mereka tidak betul-betul paham bagaimana hidup di bawah garis kemiskinan. Lantas disambut oleh kelompok "miskin" yang merasa terganggu atas statement semacam ini. Jadilah ramai jari-jari dua kelompok manusia ini saling war memenuhi timeline media sosial.

Sebetulnya perdebatan ini sudah lama sekali bergulir, dan sempat mereda untuk beberapa waktu. Sayangnya, ketentraman itu kembali terusik oleh cuitan Indra Kenz di Twitter, dengan entengnya ia menulis kalau terlahir miskin itu privilese.

"Sebenarnya lahir miskin itu juga privilege sih, bisa merasakan berjuang dan jadi sukses. Kalau lahir dari keluarga yang udah kaya, tekanan mental lebih besar," tulis Indra Kenz.

Sek sek, sebentar sini saya luruskan dulu pendapat sampeyan yang cacat logika serta perbandingan yang tidak apple to apple.

Mari kita menyamakan persepsi tentang apa itu privilese. Menyoal ini, saya ingin memberikan satu gambaran sederhana apa dan bagaimana privilese ini bekerja dalam kehidupan seseorang.

Pernahkah kamu berada di suatu posisi merasa lebih beruntung dari pada teman kamu? Atau sebaliknya, merasa tidak lebih beruntung dari pada teman kamu?

Misalnya saja, bagi yang sedang kuliah harus bekerja part time untuk menambah uang makan, sehingga kehilangan sebagian waktunya untuk mengembangkan bakat di lingkungan kampus. Di saat yang sama, teman kamu mungkin tidak disibukkan dengan biaya makan sebab sudah tercukupi oleh orang tua setiap bulannya. Sehingga bisa mengembangkan bakat di bermacam kegiatan selain kuliah.

Dari contoh di atas, privilese sangat tepat menggambarkan situasi tersebut. Bahwa, teman kamu memiliki privilese atas keuangan orang tua. Sementara kamu tidak memiliki itu.

Kalau kurang puas, saya beri lagi satu contoh yang lebih dekat dengan diri saya dan mungkin mewakili sebagian orang. Saat baru lulus SMA, saya melamar kerja di perusahaan bonafit, namun saya sudah tertolak sejak pengukuran tinggi badan karena kurang dua senti. Nah, itu contoh kecil bagaimana saya akhirnya harus tertolak sebelum berjuang di tes selanjutnya lantaran tidak memiliki tinggi badan yang "ideal" menurut perusahaan.

Kalau kita tarik dengan pendapat Indra Kenz soal privilese, kok agaknya malah kontra dari gambaran sederhana privilese itu sendiri. Semacam logika yang cacat, terbalik-balik pula.

Lha, kok jadi ikutan berdebat soal privilese? Enggak, saya hanya sedang membenahi persepsi tentang apa itu privilese dari kekeliruan cara berpikir seorang Indra Kenz.

Sejalan dengan judul, saya ingin mengajak pembaca untuk menyudahi perdebatan soal privilese, lebih-lebih di media sosial. Berikut saya rangkum alasannya :

#1 Apapun topiknya debat di dunia maya sangat sulit mencapai tujuan. Sebab, debat di dunia maya tidak ada aturan seperti diskusi ilmiah. Pembahasan bisa saja loncat-loncat karena tidak adanya patokan ilmiah.

#2 Khusus tema privilese, dalam konteks Indonesia perdebatannya sangat mungkin melebar ke mana-mana. Karena, konsep privilese mendapatkan korelasi kompleks antara identitas sosial seseorang yang saling berhubungan (ras, kelas, jenis kelamin, usia, kemampuan fisik dll.)

#3 Harus dipahami bahwa memiliki privilese tidak mutlak berarti bahwa seseorang kebal terhadap kesulitan hidup, hanya saja ia lebih beruntung dari orang lain dalam suatu hal, dan dalam hal lain belum tentu. Artinya posisi seseorang bisa sangat bersinggungan, seseorang bisa tertindas dan diistimewakan pada saat yang bersamaan.

#4 Sedikit sekali orang yang berani mengakui kepemilikan privilese. Bukan tanpa alasan, dalam khazanah berpikir masyarakat yang kompetitif seperti sekarang, pengakuan atas privilese itu kerap dianggap cara berpikir primitif. Padahal faktanya, sedikit banyak privilese turut mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan seseorang.

Saya kira empat alasan di atas, cukup untuk kita segera menyudahi perdebatan soal privilese. Ya, karena privilese tidak sesempit miskin dan kaya, apalagi sampai membedakan manusia cuma berdasarkan dua hal tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun