Kalau kita tarik dengan pendapat Indra Kenz soal privilese, kok agaknya malah kontra dari gambaran sederhana privilese itu sendiri. Semacam logika yang cacat, terbalik-balik pula.
Lha, kok jadi ikutan berdebat soal privilese? Enggak, saya hanya sedang membenahi persepsi tentang apa itu privilese dari kekeliruan cara berpikir seorang Indra Kenz.
Sejalan dengan judul, saya ingin mengajak pembaca untuk menyudahi perdebatan soal privilese, lebih-lebih di media sosial. Berikut saya rangkum alasannya :
#1 Apapun topiknya debat di dunia maya sangat sulit mencapai tujuan. Sebab, debat di dunia maya tidak ada aturan seperti diskusi ilmiah. Pembahasan bisa saja loncat-loncat karena tidak adanya patokan ilmiah.
#2Â Khusus tema privilese, dalam konteks Indonesia perdebatannya sangat mungkin melebar ke mana-mana. Karena, konsep privilese mendapatkan korelasi kompleks antara identitas sosial seseorang yang saling berhubungan (ras, kelas, jenis kelamin, usia, kemampuan fisik dll.)
#3 Harus dipahami bahwa memiliki privilese tidak mutlak berarti bahwa seseorang kebal terhadap kesulitan hidup, hanya saja ia lebih beruntung dari orang lain dalam suatu hal, dan dalam hal lain belum tentu. Artinya posisi seseorang bisa sangat bersinggungan, seseorang bisa tertindas dan diistimewakan pada saat yang bersamaan.
#4 Sedikit sekali orang yang berani mengakui kepemilikan privilese. Bukan tanpa alasan, dalam khazanah berpikir masyarakat yang kompetitif seperti sekarang, pengakuan atas privilese itu kerap dianggap cara berpikir primitif. Padahal faktanya, sedikit banyak privilese turut mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan seseorang.
Saya kira empat alasan di atas, cukup untuk kita segera menyudahi perdebatan soal privilese. Ya, karena privilese tidak sesempit miskin dan kaya, apalagi sampai membedakan manusia cuma berdasarkan dua hal tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H